/* */

Sabtu, 07 Desember 2013

Mbak Wi, apa kabar?
kuharap engkau sekarang sangat bahagia...
Mbak Wi..
lihatlah adikmu ini Mbak Wi, lihatlah..
adikmu ini sekarang lagi kuliah di UI lho..
tidakkah engkau bangga Mbak melihat adikmu ini?
ya, aku yakin, engkau pasti sangat bangga dan bahagia..
aku yakin, engkau sekarang lagi mengintip adikmu ini dari jendela di surga sana..
sambil tersenyum manis..
Mbak Wi, adikmu sekarang lagi nyicil nyusun skripsi lho..
doakan lancar ya...

Mbak Wi,
masih ingatkah...
ketika dulu adikmu ini dapat PR mapel kesenian,
engkaulah yang membantu mengerjakan..
terutama yang paling kuingat..
yang pas buat gambar bunga dari kertas berwarna itu Mbak..
gambarnya dilumuri lem..
baru deh kertas berwarnanya ditempelkan kecil-kecil pakai pulpen..
Mbak Wi..
juga ketika kenaikan kelas,
engkaulah yang membantu menyampuli buku tulis-buku tulis baru adikmu ini..
engkau juga yang menuliskan nama, alamat, kelas, pada sampul itu..
ketika suatu saat,
engkau memanggilku dengan sebutan "le" khasmu..
ketika sandal adikmu ini kotor,
sering engkau cucikan sampai mengkilat..
hehe,
kuingat, sandal yang habis kau cuci..
pasti jadinya seperti baru..

Mbak Wi..
sekarang engkau tak perlu khawatir
sama Mama, Ayah, Bapak, Ibuk, Emak, Pak De, Bu De,
serahkan saja pada adik-adikmu ini..
kami akan menjaga beliau-beliau Mbak, insya Allah
sekarang engkau tinggal melanjutkan istirahatmu..
baik-baik di sana ya Mbak..
maaf kalau adikmu ini sering bandel..
maaf juga kalau surat ini mengganggu istirahat Mbak Wi..

surat ini curahan rindu dari adikmu Mbak..
selamat istirahat..

#Depok_14102013

Al-Faatihah...

Jumat, 06 Desember 2013

Maryam, aku minta maaf..
mungkin, intensitasku memerhatikanmu..
akhir-akhir ini agak berkurang..
maaf..
mungkin aku kurang bisa membagi waktu..
kuharap kubisa memperbaikinya..

#Maryam_6

Maryam, aku galau..
sampai-sampai...
bolpoin ku retak, hampir patah..

#Maryam_5

selamat pagi, Maryam..
sebentar lagi..
ku akan mengunjungimu..
kau masih tetap dengan kerudung birumu itu kan?
ah, rasa itu mulai menghampiriku..

#Maryam_4

Maryam, tahukah?
aku sangat merindukanmu malam ini..
oh ya, sempat ku bercengkrama..
dengan kawanku, baru saja...
dia bilang bahwa..
kau itu begitu menawan

#Maryam_3

Maryam, boleh aku kecup kening dan bibirmu?
ah, aku sudah tidak tahan..
tapi..
rasa-rasanya aku tak kan sanggup..
karena kau terlampau indah untuk itu..

#Maryam_2

ah, Maryam...
kau selalu menggodaku..
lenggak-lenggok tubuhmu...
buatku jatuh ke pelukanmu..

ah, Maryam...
kau selalu buatku terpana...
aku tak pernah cemburu...
mengingat engkau selalu begitu...

ah, Maryam..
aku tak tega menyentuhmu...
jika aku masih terpaku..
dalam lingkaran kehampaan diriku...

kau bagai embun segar...
yang jumpaiku di tiap kerinduan...
wajahmu kemilau....
wajahmu bercahaya...
di balik kerudung biru...
aku jadi malu...
ah, memandangmu saja buatku malu...

bibirmu merah merona...
kulitmu kuning langsat..
pipimu halus tanpa gores...
hidungmu menarik hati...
matamu indah....
iiiiiiindah sekali....
bolehkah kubuka sedikit kerudung birumu itu?
aku harap engkau berkata "ya"...

ah, Maryam..
puisi ini mungkin tak kan pernah bisa meluluhkanmu..
karena engkaulah sebenar-benar puisi itu...

ah, Maryam..
jangan tinggalkan aku...
kumohon, jangan tinggalkan aku...

Selasa, 02 Juli 2013





Deskripsi:
Manusia adalah makhluk sosial yang mendambakan hidup damai dan harmonis, sehingga adalah normal apabila manusia mengalami ketertarikan dengan lawan jenisnya. Motivasi untuk bisa mengenal karakter, menyamakan pandangan hidup dan alasan lainnya, seringkali dijadikan dalih pembenaran untuk melakukan pacaran. Bahkan beberapa pemikir ada yang sedikit peduli dengan norma-etik sosial, sehingga merumuskan konsep “pacaran Islami”

Pertanyaan:
Bagaimana konsep Islam mengatur hubungan sepasang remaja yang sedang jatuh cinta?

Abstraksi:

زين للناس حب الشهوات من النساء

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita”. (Ali Imraan: 14)

Redaksi ayat di atas tegas menjelaskan bahwa dalam diri manusia telah ditanam benih-benih cinta yang sewaktu-waktu bisa tumbuh ketika menemukan kecocokan jiwa. Cinta dalam Islam tidak dilarang, karena ia berada di luar wilayah kendali manusia. Bahkan cinta merupakan anugrah yang harus disyukuri dengan mengekspresikan dan membinanya sesuai norma-etik syariat. Islam dengan universalitas ajarannya telah mengatur seluruh hubungan manusia baik vertikal maupun horizontal, tak terkecuali hubungan sepasang anak manusia yang dirundung asmara. Istilah pacaran secara harfiah tidak dikenal dalam Islam, karena konotasi dari kata ini lebih mengarah kepada hubungan pra-nikah yang lebih intim dari sekedar media saling mengenal. Islam menciptakan aturan yang sangat indah hubungan lawan jenis yang sedang jatuh cinta, yaitu dengan konsep khithbah. Khithbah adalah sebuah konsep ‘pacaran berpahala’ dari dispensasi agama sebagai media legal hubungan lawan jenis untuk saling mengenal sebelum memutuskan menjalin hubungam suami-isteri. Konsep hubungan ini sangat dianjurkan bagi seseorang yang telah menaruh hati kepada lawan jenis dan bermaksud untuk menikah. Akan tetapi hubungan ini harus tetap terbingkai dalam nilai-nilai kesalehan, sehingga kedekatan hubungan yang bisa menimbulkan potensi fitnah sudah di luar konsep ini.

Nikah dalam Islam bukanlah sekedar untuk singgahan hasrat seksual, tetapi merupakan peristiwa sakral yang mempertemukan dua kategoris berbeda dalam satu bahtera tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk bersama membina dan mengarungi mahligai cinta menyambung estafet kehidupan. Nikah merupakan ibadah yang dianjurkan agama demi menjalin kebahagiaan bersama dalam kehidupan bahkan sampai hidup lagi. Sedemikian sakralnya makna pernikahan, maka khithbah merupakan konsep urgen untuk menjembatani kemungkinan kekecewaan kedua belah pihak sebelum ikrar nikah. Lantaran proporsi fundamental khithbah hanya sebagai tahap saling mengenali, maka legalitas kedekatan hubungan dalam konsep ini hanya sebatas memandang wajah dan telapak tangan, karena rahasia-rahasia fisik dan kepribadian seseorang sudah bisa dimonitor dan disensor melalui aura wajah dan telapak tangan. Lebih dari itu, dalam ‘pacaran berpahala’ ini, juga diperbolehkan duduk dan berbincang-bincang bersama sepanjang tidak sampai bernuansa kholwah (berduaan), seperti disertai pihak ketiga yang bisa melindungi dari fitnah, karena makhthuubah (baca: ‘pacar’) bagaimanapun masih berstatus ajnabiyyah (wanita lain) yang sedikitpun belum berlaku hukum suami isteri. Jadi, konsep Islam dalam mengatur hubungan sepasang remaja yang sedang jatuh cinta bukan dengan hubungan tanpa batas atau ‘pacaran islami’ yang cukup dimulai dengan basmalah dan diakhiri dengan hamdalah, melainkan hubungan yang dibingkai dengan nilai-nilai pekerti luhur dan dihiasi fitrah keindahan (baca: kesalehan).

Referensi:





حاشية الجمل الجزء الرابع ؃: ١٢٠ 
فتح المعين الجزء الثالث ؃: ٢٩٨-٢٩٩
الفقه اﻹسلامى الجزء التاسع ؃: ٦٥٠٧ 
ﺇعانة الطالبين الجزء الثالث ؃: ٢٩٩
الباجوري الجزء الثانى ؃: ١٠١
تفسير القرطبي الجزء السادس عشر ؃: ٣٤٠-٣٤١

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

MANHAJ SOLUSI UMAT: Jawaban Problematika Kekinian, Cetakan I, hal. 154

Senin, 01 Juli 2013



Deskripsi:
Di dalam literatur fiqh dikenal istilah haqq al-ijbaar atau hak paksa seorang wali (ayah atau kakek) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa perlu izin dari pihak anak. Jika ditilik dari hak asasi manusia, aturan ini praktis bernuansa diskriminatif dan bertentangan dengan semangat kebebasan yang Islam datang untuk menghapus segala bentuk penindasan dan tradisi-tradisi zaman Siti Nurbaya

Pertanyaan:
Bagaimana ketegasan pengertian haqq al-ijbaar plus batasan dan dalilnya?

Abstraksi:
Dalam Islam memang ada hadits yang memberikan legitimasi kepada orang tua (wali) untuk menjodohkan puteri gadisnya tanpa harus melalui kesepakatannya terlebih dahulu. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw. bersabda;

الثيب ﺃحق بنفسها من وليها والبكر يزوجها ﺃبوها
“Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkan gadis yang menikahkan adalah bapaknya”. (HR. Ad-Daruquthny).

Redaksi hadits ini menegaskan bahwa hak nikah seorang wanita gadis berada di tangan ayahnya (wali mujbir). Legitimasi syara’ ini bukanlah bentuk dari tindakan memaksakan kehendak menentukan pasangan hidup kepada wanita gadis, melainkan justeru bukti bahwa Islam hendak mempersembahkan yang terbaik buat wanita gadis yang nota bene tidak memiliki cukup pengalaman dalam menentukan dan memilih pasangan hidup yang ideal. Maka sangat beralasan jika syara’ memberikan legitimasi kepada ayah memiliki prerogatif (ijbaar) menjodohkan puteri gadisnya, karena hak paksa yang didasari rasa kasih sayang yang dimiliki seorang ayah bukanlah pemaksaan melainkan kemaslahatan. Lantaran itulah ulama dalam merumuskan hak ijbaar menikahkan puteri gadis hanya dimiliki oleh seorang ayah dengan ketentuan sebagai berikut;
1. Tidak ada kebencian dan permusuhan nyata antara ayah dan anak gadisnya;
2. Tidak ada kebencian dan permusuhan nyata antara pihak suami dan gadis;
3. Menjodohkan dengan laki-laki yang selevel (kufu’) dengan anak gadisnya;
4. Memilih calon suami yang sanggup memenuhi kewajiban membayar mahar;
5. Menikahkan dengan mahar standar (mitsli).
6. Maskawin harus dari mata uang negara yang berlaku; dan
7. Mahar dibayar dengan kontan.

Dari ketentuan syarat-syarat di atas, menurut Syafi`iyyah, untuk empat syarat pertama, apabila tidak dapat terpenuhi salah satunya maka prosesi akad pernikahannya dianggap tidak sah kecuali sebelumnya ada izin dan kerelaan dari pihak gadis. Sedangkan tiga syarat terakhir, apabila tidak terpenuhi tidak sampai mempengaruhi keabsahan pernikahan. (Referensi selengkapnya lihat Muhammad bin Ahmad bin Asy-Syarbiny aL-Khathib, Mughny aL-Muhtaj, vol. IV hal. 248 Daar aL-Kotob aL-Ilmiyyah)

Referensi:

المجموع شرح المهذب الجزء السادس عشر ؃ :١٦٥ 
المذاهب ا ﻷ ربعة الجزء الرابع ؃ :٣٥
الموسوعة الفقهية الجزء الثامن ؃: ١٨٠
الموسوعة الفقهية الجزء الرابع والثلاثون ؃: ٢٦٤
الباجوري الجزء الثاني ؃: ١٠٩
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

MANHAJ SOLUSI UMAT: Jawaban Problematika Kekinian, Cetakan I, hal. 157

Rabu, 05 Juni 2013



670. AL-QUR'AN: Data Statistik Isi Al-Qur'an

posted by salafiyyah ma'had

PERTANYAAN :

Tarkam Sriatun
AlQURAN, apa ajasi isi ALQURAN. 1.Ada brapa hurf Di
dlm alquran. 2. Ada brapa surat dlm alquran. 3. Ada
brapa ayat dlm alquran. 4. Ada brapa lbr dlm alquran ?

JAWABAN :

sesungguhnya jumlah ayat, surat, huruf maupun kalimat Alqur-an para ulama salaf terdapat khilafiyah dalam penghitungannya

ﻭﻗﺎﻝ ﻏﻴﺮﻩ : ﺳﺒﺐ ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻓﻲ ﻋﺪﺩ ﺍﻵﻱ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ -
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻛﺎﻥ ﻳﻘﻒ ﻋﻠﻰ ﺭﺀﻭﺱ ﺍﻵﻱ
ﻟﻠﺘﻮﻗﻴﻒ ، ﻓﺈﺫﺍ ﻋﻠﻢ ﻣﺤﻠﻬﺎ ﻭﺻﻞ ﻟﻠﺘﻤﺎﻡ ، ﻓﻴﺤﺴﺐ ﺍﻟﺴﺎﻣﻊ
ﺣﻴﻨﺌﺬ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻴﺴﺖ ﻓﺎﺻﻠﺔ , ﺍﻹﺗﻘﺎﻥ ﻓﻲ ﻋﻠﻮﻡ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ﺹ: 233

ulama berfatwa ; sebab terjadinya perbedaan ulama salaf mengenai jumlah ayat Alqur-an adalah sesungguhnya Nabi saw berhenti pada permulaan ayat karena waqof, maka ketika Nabi saw mengetahui tempat (posisi ayat) nya maka Nabi saw menuskannya untuk menyelesaikan .
maka para Sahabat r a yang mendengarnya menyangka itu bukan kelanjutan ayat tadi , (Al Itqoon fii 'uluumil qur-an 1 : 233)

berikut ini kami tampilkan hasil musyawarah grup PISS-KTB (www.facebook.com/groups/piss.ktb) yang dinukil dari beberapa kitab mu'tabaroh :

Toni Imam Tontowi
ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ﺹ98

ﻓﺄﻣﺎ ﻋﺪﺩ ﺁﻳﺎﺕ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﺴﺘﺔ ﺁﻻﻑ ﺁﻳﺔ ، ﺛﻢ ﺍﺧﺘﻠﻒ ﻓﻴﻤﺎ ﺯﺍﺩ
ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻰ ﺃﻗﻮﺍﻝ ، ﻓﻤﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺰﺩ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ، ﻭﻣﻨﻬﻢ
ﻣﻦ ﻗﺎﻝ : ﻭﻣﺎﺋﺘﺎ ﺁﻳﺔ ﻭﺃﺭﺑﻊ ﺁﻳﺎﺕ ، ﻭﻗﻴﻞ : ﻭﺃﺭﺑﻊ ﻋﺸﺮﺓ ﺁﻳﺔ ،
ﻭﻗﻴﻞ : ﻭﻣﺎﺋﺘﺎﻥ ﻭﺗﺴﻊ ﻋﺸﺮﺓ ، ﻭﻗﻴﻞ : ﻭﻣﺎﺋﺘﺎﻥ ﻭﺧﻤﺲ
ﻭﻋﺸﺮﻭﻥ ﺁﻳﺔ ، ﻭﺱﺕ ﻭﻋﺸﺮﻭﻥ ﺁﻳﺔ ، ﻭﻗﻴﻞ : ﻭﻣﺎﺋﺘﺎ ﺁﻳﺔ ،
ﻭﺳﺖ ﻭﺛﻼﺛﻮﻥ ﺁﻳﺔ . ﺣﻜﻰ ﺫﻟﻚ ﺃﺑﻮ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻟﺪﺍﻧﻲ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ
ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ
ﻭﺃﻣﺎ ﻛﻠﻤﺎﺗﻪ ، ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻔﻀﻞ ﺑﻦ ﺷﺎﺫﺍﻥ ، ﻋﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﺑﻦ ﻳﺴﺎﺭ :
ﺳﺒﻊ ﻭﺳﺒﻌﻮﻥ ﺃﻟﻒ ﻛﻠﻤﺔ ﻭﺃﺭﺑﻌﻤﺎﺋﺔ ﻭﺗﺴﻊ ﻭﺛﻼﺛﻮﻥ ﻛﻠﻤﺔ
ﻭﺃﻣﺎ ﺣﺮﻭﻓﻪ ، ﻓﻘﺎﻝ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻛﺜﻴﺮ ، ﻋﻦ ﻣﺠﺎﻫﺪ : ﻫﺬﺍ ﻣﺎ
ﺃﺣﺼﻴﻨﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻫﻮ ﺛﻼﺛﻤﺎﺋﺔ ﺃﻟﻒ [ ﺹ] 99 : ﺣﺮﻑ
ﻭﻭﺍﺣﺪ ﻭﻋﺸﺮﻭﻥ ﺃﻟﻒ ﺣﺮﻑ ﻭﻣﺎﺋﺔ ﻭﺛﻤﺎﻧﻮﻥ ﺣﺮﻓﺎ
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻔﻀﻞ ، ﻋﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﺑﻦ ﻳﺴﺎﺭ : ﺛﻼﺛﻤﺎﺋﺔ ﺃﻟﻒ ﺣﺮﻑ
ﻭﺛﻼﺛﺔ ﻭﻋﺸﺮﻭﻥ ﺃﻟﻔﺎ ﻭﺧﻤﺴﺔ ﻋﺸﺮ ﺣﺮﻓﺎ
ﻭﻗﺎﻝ ﺳﻼﻡ ﺃﺑﻮ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﺤﻤﺎﻧﻲ : ﺇﻥ ﺍﻟﺤﺠﺎﺝ ﺟﻤﻊ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀ
ﻭﺍﻟﺤﻔﺎﻅ ﻭﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻓﻘﺎﻝ : ﺃﺧﺒﺮﻭﻧﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻛﻠﻪ ﻛﻢ ﻣﻦ
ﺣﺮﻑ ﻫﻮ ؟ ﻗﺎﻝ : ﻓﺤﺴﺒﻨﺎﻩ ، ﻓﺄﺟﻤﻌﻮﺍ ﺃﻧﻪ ﺛﻼﺛﻤﺎﺋﺔ ﺃﻟﻒ
ﺣﺮﻑ ﻭﺃﺭﺑﻌﻮﻥ ﺃﻟﻔﺎ ﻭﺳﺒﻌﻤﺎﺋﺔ ﻭﺃﺭﺑﻌﻮﻥ ﺣﺮﻓﺎ .

tafsir ibnu katsir juz 1 hal 98 :
adapn jumlah ayat2 Alqur_an adalah 6000 (enam ribu)
lebih ayat, mengenai lebihnya terdapat beberapa
pendapat ulama ;
- 6000 + 204 ayat
- 6000 + 14 ayat
- 6000 + 219 ayat
- 6000 + 225 ayat
- 6000 + 26 ayat
- 6000 + 200 ayat
- 6000 + 36 ayat
demikian sprt yg dicaritakan Abu 'Umar Ad-daany dlm
kitab Bayan

adapun kalimat Alqur-an menurut Al-fadl bin Syadzan
dari 'Atho ibn Yasar adalah 77.439 kalimah.

sedang jumlah huruf Al-qur-an menurut Abdullah ibn
Katsir yg diriwayatkan dr Mujahid "menurut hitungan
kami adalah 321.180 hurf.
sedang menurut Al-fadl yg diriwayatkan dr 'Atho ibn
Yasar adalah 323.015 hurf.

menurut Salam yaitu Abu hamid Al-Hamany adalah
340.740 huruf , menurut beliau ini adalah hujjah yg
dipakai para ali qiraah, dan para huffadh Alqur-an.

kitab kitab yang senada (beda tipis) dengan referensi jawaban diatas diantaranya :

ﺍﻹﺗﻘﺎﻥ ﻓﻲ ﻋﻠﻮﻡ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ [ ﺹ233-234 ]
ﻭﻗﺪ ﺃﺧﺮﺝ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻀﺮﻳﺲ ، ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﻄﺎﺀ ، ﻋﻦ
ﺃﺑﻴﻪ ، ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ، ﻗﺎﻝ : ﺟﻤﻴﻊ ﺁﻱ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺳﺘﺔ ﺁﻻﻑ
ﻭﺳﺘﻤﺎﺋﺔ ﺁﻳﺔ ، ﻭﺟﻤﻴﻊ ﺣﺮﻭﻑ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺛﻼﺛﻤﺎﺋﺔ ﺃﻟﻒ ﺣﺮﻑ
ﻭﺛﻼﺛﺔ ﻭﻋﺸﺮﻭﻥ ﺃﻟﻒ ﺡﺭﻑ ﻭﺳﺘﻤﺎﺋﺔ ﺣﺮﻑ ﻭﻭﺍﺣﺪ ﻭﺳﺒﻌﻮﻥ
ﺣﺮﻓﺎ
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺪﺍﻧﻲ : ﺃﺟﻤﻌﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻋﺪﺩ ﺁﻳﺎﺕ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺳﺘﺔ ﺁﻻﻑ
ﺁﻳﺔ ، ﺛﻢ ﺍﺧﺘﻠﻔﻮﺍ ﻓﻴﻤﺎ ﺯﺍﺩ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻓﻤﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺰﺩ ،
ﻭﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻕﺍﻝ : ﻭﻣﺎﺋﺘﺎ ﺁﻳﺔ ﻭﺃﺭﺑﻊ ﺁﻳﺎﺕ
ﻭﻗﻴﻞ : ﻭﺃﺭﺑﻊ ﻋﺸﺮﺓ .
ﻭﻗﻴﻞ : ﻭﺗﺴﻊ ﻋﺸﺮﺓ .
ﻭﻗﻴﻞ : ﻭﺧﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻭﻥ .
ﻭﻗﻴﻞ : ﻭﺳﺖ ﻭﺛﻼﺛﻮﻥ .
ﻗﻠﺖ : ﺃﺧﺮﺝ ﺍﻟﺪﻳﻠﻤﻲ ﻓﻲ ﻣﺴﻨﺪ ﺍﻟﻔﺮﺩﻭﺱ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﺍﻟﻔﻴﺾ
ﺑﻦ ﻭﺛﻴﻖ ، ﻋﻦ ﻓﺮﺍﺕ ﺑﻦ ﺳﻠﻤﺎﻥ ، ﻋﻦ ﻣﻴﻤﻮﻥ ﺑﻦ ﻣﻬﺮﺍﻥ ، ﻋﻦ
ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻣﺮﻓﻮﻋﺎ ﺩﺭﺝ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻋﻠﻰ ﻗﺪﺭ ﺁﻱ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺑﻜﻞ ﺁﻳﺔ
ﺩﺭﺟﺔ ﻓﺘﻠﻚ ﺳﺘﺔ ﺁﻻﻑ ﺁﻳﺔ ﻭﻣﺎﺋﺘﺎ ﺁﻳﺔ ﻭﺳﺖ ﻋﺸﺮﺓ ﺁﻳﺔ ﺑﻴﻦ
ﻛﻞ ﺩﺭﺟﺖﻳﻦ ﻣﻘﺪﺍﺭ ﻣﺎ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻭﺍﻷﺭﺽ


ﺍﻟﺒﺮﻫﺎﻥ ﻓﻲ ﻋﻠﻮﻡ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ hal 348-350
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺴﻴﻦ ﺑﻦ ﻣﻬﺮﺍﻥ ﺍﻟﻤﻘﺮﺉ " :
ﻋﺪﺩ ﺳﻮﺭ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﺎﺋﺔ ﻭﺃﺭﺑﻊ ﻋﺸﺮﺓ ﺳﻮﺭﺓ - ﻭﻗﺎﻝ - ﺑﻌﺚ
ﺍﻟﺤﺠﺎﺝ ﺑﻦ ﻳﻮﺳﻒ ﺇﻟﻰ ﻗﺮﺍﺀ ﺍﻟﺒﺼﺮﺓ ، ﻓﺠﻤﻌﻬﻢ ، ﻭﺍﺧﺘﺎﺭ ﻣﻨﻬﻢ
ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻟﺒﺼﺮﻱ ، ﻭﺃﺑﺎ ﺍﻟﻌﺎﻟﻴﺔ ، ﻭﻧﺼﺮ ﺑﻦ ﻋﺎﺻﻢ ، ﻭﻋﺎﺻﻤﺎ
ﺍﻟﺠﺤﺪﺭﻱ ، ﻭﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ ﺩﻳﻨﺎﺭ - ﺭﺣﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻬﻢ - ﻭﻗﺎﻝ :
ﻋﺪﻭﺍ ﺣﺮﻭﻑ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ . ﻓﺒﻘﻮﺍ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻳﻌﺪﻭﻥ ﺑﺎﻟﺸﻌﻴﺮ ،
ﻓﺄﺟﻤﻌﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻛﻠﻤﺎﺗﻪ ﺳﺒﻊ ﻭﺳﺒﻌﻮﻥ ﺃﻟﻒ ﻛﻠﻤﺔ ،
ﻭﺃﺭﺑﻌﻤﺎﺋﺔ ﻭﺗﺴﻊ ﻭﺛﻼﺛﻮﻥ ﻛﻠﻤﺔ ، ﻭﺃﺟﻤﻌﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻋﺪﺩ
ﺣﺮﻭﻓﻪ ﺛﻼﺛﻤﺎﺋﺔ ﺃﻟﻒ ﻭﺛﻞﺍﺛﺔ ﻭﻋﺸﺮﻭﻥ ﺃﻟﻔﺎ ﻭﺧﻤﺴﺔ ﻋﺸﺮ
ﺣﺮﻓﺎ " . ﺍﻧﺘﻬﻰ
ﻭﻗﺎﻝ ﻏﻴﺮﻩ : ﺃﺟﻤﻌﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻋﺪﺩ ﺁﻳﺎﺕ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺳﺘﺔ ﺁﻻﻑ
ﺁﻳﺔ ، ﺛﻢ ﺍﺧﺘﻠﻔﻮﺍ ﻓﻴﻤﺎ ﺯﺍﺩ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻰ ﺃﻗﻮﺍﻝ : ﻓﻤﻨﻬﻢ ﻣﻦ
ﻟﻢ ﻳﺰﺩ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ، ﻭﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ : ﻭﻣﺎﺋﺘﺎ ﺁﻳﺔ ﻭﺃﺭﺑﻊ ﺁﻳﺎﺕ ،
ﻭﻗﻴﻞ : ﻭﺃﺭﺑﻊ ﻋﺸﺮﺓ ﺁﻳﺔ . ﻭﻗﻴﻞ : ﻣﺎﺋﺘﺎﻥ ﻭﺗﺴﻊ
ﻋﺸﺮﺓ ﺁﻳﺔ ، ﻭﻗﻴﻞ : ﻣﺎﺋﺘﺎﻥ ﻭﺧﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻭﻥ ﺁﻳﺔ ، ﺃﻭ ﺳﺖ
ﻭﻋﺸﺮﻭﻥ ﺁﻳﺔ ، ﻭﻗﻴﻞ : ﻣﺎﺋﺘﺎﻥ ﻭﺳﺖ ﻭﺛﻼﺛﻮﻥ . ﺣﻜﻰ ﺫﻟﻚ ﺃﺑﻮ
ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻟﺪﺍﻧﻲ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ " ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ "
ﻭﺃﻣﺎ ﻛﻠﻤﺎﺗﻪ : ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻔﻀﻴﻞ ﺑﻦ ﺷﺎﺫﺍﻥ ، ﻋﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﺑﻦ ﻳﺴﺎﺭ :
ﺳﺒﻊ ﻭﺳﺒﻌﻮﻥ ﺃﻟﻒ ﻛﻠﻤﺔ ﻭﺃﺭﺑﻌﻤﺎﺋﺔ ﻭﺳﺒﻊ ﻭﺛﻼﺛﻮﻥ ﻛﻠﻤﺔ .
ﻭﺃﻣﺎ ﺣﺮﻭﻓﻪ : ﻓﻘﺎﻝ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺟﺒﻴﺮ ، ﻋﻦ ﻣﺠﺎﻫﺪ : ﺛﻼﺛﻤﺎﺋﺔ
ﺃﻟﻒ ﺣﺮﻑ ﻭﺃﺣﺪ ﻭﻋﺸﺮﻭﻥ ﺃﻟﻒ ﺣﺮﻑ ، ﻭﻗﺎﻝ ﺳﻼﻡ ﺃﺑﻮ
ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﺤﻤﺎﻧﻲ : ﺇﻥ ﺍﻟﺤﺠﺎﺝ ﺟﻤﻊ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀ ﻭﺍﻟﺤﻔﺎﻅ ﻭﺍﻟﻜﺘﺎﺏ
ﻓﻘﺎﻝ : ﺃﺧﺒﺮﻭﻧﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻛﻠﻪ ; ﻛﻢ ﻣﻦ ﺣﺮﻑ ﻫﻮ ؟ ﻗﺎﻝ :
ﻓﺤﺴﺒﻨﺎﻩ ، ﻓﺄﺟﻤﻌﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﺛﻼﺛﻤﺎﺋﺔ ﺃﻟﻒ ﻭﺃﺭﺑﻌﻮﻥ ﺃﻟﻔﺎ
ﻭﺳﺒﻌﻤﺎﺋﺔ ﻭﺃﺭﺑﻌﻮﻥ ﺣﺮﻓﺎ .
ﻭﺍﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﻋﺪﺩ ﺳﻮﺭ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ ﺑﺎﺗﻔﺎﻕ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﻞ ﻭﺍﻟﻌﻘﺪ
ﻣﺎﺋﺔ ﻭﺃﺭﺑﻊ ﻋﺸﺮﺓ ﺳﻮﺭﺓ ﻛﻤﺎ ﻫﻲ ﻓﻲ
ﺍﻟﻤﺼﺤﻒ ﺍﻟﻌﺜﻤﺎﻧﻲ ، ﺃﻭﻟﻬﺎ ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﻭﺁﺧﺮﻫﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ . ﻭﻗﺎﻝ
ﻣﺠﺎﻫﺪ " : ﻭﺛﻼﺙ ﻋﺸﺮﺓ ﺑﺠﻌﻞ " ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ " ، ﻭ " ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ "
ﺳﻮﺭﺓ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﻻﺷﺘﺒﺎﻩ ﺍﻟﻄﺮﻓﻴﻦ ﻭﻋﺪﻡ ﺍﻟﺒﺴﻤﻠﺔ . ﻭﻳﺮﺩﻩ ﺗﺴﻤﻴﺔ
ﺍﻟﻦﺑﻲ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻛﻼ ﻣﻨﻬﻤﺎ ، ﻭﻛﺎﻥ ﻓﻲ
ﻣﺼﺤﻒ ﺍﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﺍﺛﻨﺎ ﻋﺸﺮ ، ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻤﻌﻮﺫﺗﺎﻥ ;
ﻟﺸﺒﻬﺔ ﺍﻟﺮﻗﻴﺔ ، ﻭﺟﻮﺍﺑﻪ ﺭﺟﻮﻋﻪ ﺇﻟﻴﻬﻢ ، ﻭﻣﺎ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻜﻞ . ﻭﻓﻲ
ﻣﺼﺤﻒ ﺃﺑﻲ ﺳﺖ ﻋﺸﺮﺓ ، ﻭﻛﺎﻥ ﺩﻋﺎﺀ ﺍﻻﺳﺘﻔﺘﺎﺡ ﻭﺍﻟﻘﻨﻮﺕ
ﻓﻲ ﺁﺧﺮﻩ ﻛﺎﻟﺴﻮﺭﺗﻴﻦ . ﻭﻻ ﺩﻟﻴﻞ ﻓﻴﻪ ﻟﻤﻮﺍﻓﻘﺘﻬﻢ ، ﻭﻫﻮ ﺩﻋﺎﺀ
ﻛﺘﺐ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺨﺘﻤﺔ .
ﻭﻋﺪﺩ ﺁﻳﺎﺗﻪ ﻓﻲ ﻗﻮﻝ ﻋﻠﻲ - ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ - ﺳﺘﺔ ﺁﻻﻑ
ﻭﻣﺎﺋﺘﺎﻥ ، ﻭﺳﺘﺔ ﻭﺛﻼﺛﻮﻥ ، ﻭﻓﻲ ﻗﻮﻝ ﺃﺑﻲ " : ﺳﺘﺔ ﺁﻻﻑ
ﻭﻣﺌﺘﺎﻥ ﻭﺛﻤﺎﻥ ﻋﺸﺮﺓ . ﻭﻋﻄﺎﺀ : ﺳﺘﺔ ﺁﻻﻑ ﻭﻣﺎﺋﺔ ﻭﺳﺒﻊ
ﻭﺳﺒﻌﻮﻥ . ﻭﺣﻤﻴﺪ : ﺳﺘﺔ ﺁﻻﻑ ﻭﻣﺎﺋﺘﺎﻥ ﻭﺍﺛﻨﺘﺎ ﻋﺸﺮﺓ . ﻭﺭﺍﺷﺪ :
" ﺳﺘﺔ ﺁﻻﻑ ﻭﻣﺎﺋﺘﺎﻥ ﻭﺃﺭﺑﻊ "
______


sedang menurut syaikh Imam Nawawi Albantani dalam kitabnya ﻧﻬﺎﻳﺔ ﺍﻟﺰﻳﻦ ﻓﻲ ﺇﺭﺷﺎﺩ ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﺋﻴﻦ adalah sebagai berikut :



Mbah Cemeng
ﻓَﺎﺋِﺪَﺓ ﻋﺪﺩ ﺁﻳَﺎﺕ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴﻢ ﺳِﺘَّﺔ ﺁﻟَﺎﻑ ﻭﺳِﺘﻤِﺎﺋَﺔ ﻭﺳﺖ
ﻭَﺳِﺘُّﻮﻥَ ﺁﻳَﺔ ﺃﻟﻒ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺃَﻣﺮ ﻭَﺃﻟﻒ ﻧﻬﻲ ﻭَﺃﻟﻒ ﻭﻋﺪ ﻭَﺃﻟﻒ ﻭَﻋِﻴﺪ
ﻭَﺃﻟﻒ ﻗﺼَﺺ ﻭﺃﺧﺒﺎﺭ ﻭَﺃﻟﻒ ﻋﺒﺮ ﻭﺃﻣﺜﺎﻝ ﻭَﺧَﻤْﺴﻤِﺎﺋﺔ ﻟﺘﺒﻴﻴﻦ
ﺍﻟْﺤَﻠَﺎﻝ ﻭَﺍﻟْﺤﺮَﺍﻡ ﻭَﻣِﺎﺋَﺔ ﻟﺘﺒﻴﻴﻦ ﺍﻟﻨَّﺎﺳِﺦ ﻭﺍﻟﻤﻨﺴﻮﺥ ﻭَﺳِﺘَّﺔ ﻭَﺳِﺘُّﻮﻥَ
ﺩُﻋَﺎﺀ ﻭﺍﺳﺘﻐﻔﺎﺭ ﻭﺃﺫﻛﺎﺭ
ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ: ﻧﻬﺎﻳﺔ ﺍﻟﺰﻳﻦ ﻓﻲ ﺇﺭﺷﺎﺩ ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﺋﻴﻦ
ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ: ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻧﻮﻭﻱ ﺍﻟﺠﺎﻭﻱ ﺍﻟﺒﻨﺘﻨﻲ ﺇﻗﻠﻴﻤﺎ، ﺍﻟﺘﻨﺎﺭﻱ
ﺑﻠﺪﺍ )ﺍﻟﻤﺘﻮﻓﻰ1316 :ﻫـ(
ﺍﻟﺼﺤﻴﻔﺔ 34 :
ﺍﻟﻨﺎﺷﺮ: ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻔﻜﺮ - ﺑﻴﺮﻭﺕ

jumlah ayat ayat Alqur-an adalah 6666 ayat , dengan rincian sbb :
- 1000 ayat : perintah Allah
- 1000 ayat : larangan Allah
- 1000 ayat : janji Allah
- 1000 ayat : ancaman Allah
- 1000 ayat : cerita cerita dan kabar berita
- 1000 ayat : ta'bir dan amtsal
- 500 ayat : penjelasan halal dan haram
- 100 ayat : penjelasan naskh mansukh
- 66 ayat : doa, dzikir, dan istighfar

nihayatuz zain hal 34

Wallaahu a'lam bish-showaab

powered by Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah - KTB (PISS-KTB)

http://www.piss-ktb.com/2011/11/670-al-quran-data-statistik-isi-al.html
http://salafiyah-mahad.blogspot.com/2012/04/alqur-jumlah-surat-ayat-kalimah-dan.html

Rabu, 22 Mei 2013



Alkisah Ahmad bin Miskin hidup dengan istri dan anaknya yang masih kecil. Kesusahan menderanya terus-menerus. Tak ada pekerjaan yang dilakukannya. Suatu malam, setelah seharian tak secuil makanan masuk kedalam perutnya, hatinya gelisah dan tak dapat tidur. Hatinya perih seperti perutnya yang keroncongan. Seperti prajurit yang kalah perang, ia lesu, lemah-lunglai, dan tak ada harapan. Anaknya menangis seharian, karena tak ada air susu dari istrinya yang lapar. Sungguh kefakiran ini membuatnya sangat menderita. Timbul pemikiran darinya untuk menjual rumah yang ditempatinya.

Esok harinya, usai shalat shubuh berjamaah dan berdoa, ia menemui sahabatnya Abdullah as-sayyad. “Wahai Abdullah! Bisakah kau pinjamkan aku beberapa dirham untuk keperluan hari ini. Aku bermaskud menjual rumahku. Nanti setelah laku akan kuganti,” kata Ahmad.

“Wahai Ahmad. . . ambillah bungkusan ini untuk keluargamu dan pulanglah! Nanti aku akan menyusul kerumahmu membawakan semua kebutuhanmu itu,” jawab Abdullah cepat. Maka Ahmad pun pulang kerumah sambil terus merenung untuk menjual rumahnya. Sungguh sakit kalau harus menjual rumah satu-satunya, sekadar untuk makan. “Setelah itu, saya akan tinggal dimana,” renung Ahmad.

Ahmad segera memantapkan langkahnya. Kini ia membawa bungkusan makanan untuk keluarganya. Tentu istrinya akan gembira dan anaknya akan tertawa lucu setelah memperoleh air susu. “ Terasa nikmat roti yang dibungkus ini tentunya. Sahabat Abdullah memang sangat dermawan, sahabat sejatiku,” desah Ahmad.

Belum sampai setengah perjalanan, tiba-tiba seorang wanita dengan bayi dalam gendongan menatap iba. “Tuan, berilah kami makanan. Sudah beberapa hari ini kami belum makan. Anak ini anak yatim yang kelaparan, tolonglah. Semoga Allah swt. Merahmati tuan,” ratap ibu itu.

Iba rasa hati Ahmad. Ditatapnya bayi yang digendong wanita itu. Tampak wajah yang layu, pucat kelaparan. Wajah yang mengharap belas kasihan. Sungguh melas, tak sanggup Ahmad memandangnya lama-lama. Dibandingkan keluargaku, mungkin ibu dan anak ini lebih membutuhkan. “Biarlah aku akan mencari makanan lain untuk keluargaku,” Ahmad membatin. “Ini ambillah bu. . . aku tak punya yang lain, semoga dapat meringankan bebanmu. Kalau saja aku punya yang lain mungkin aku akan membantumu lebih banyak,” kata Ahmad sambil menyerahkan bungkusan yang sama sekali belum disentuhnya.

Dua tetes air mata jatuh dari mata sang ibu, “Terima kasih. . .terima kasih tuan. Sungguh tuan telah menolong kami dan semoga Allah membalas budi baik tuan dengan balasan yang besar,” si ibu berterima kasih dan menunduk hormat. Maka Ahmad pun meneruskan perjalanan.

Ia beristirahat bersandar di batang pohon sambil merenungi nasibnya. Namun, ia kembali ingat bahwa sahabatnya Abdullah telah berjanji akan datang membawakan keperluannya. Dan Abdullah tak pernah ingkar janji sekalipun. Maka bergegas ia pulang dengan perasaan harap-harap cemas. Di tengah jalan dia berpapasan dengan sahabat baiknya Abdullah.

“Wahai Ahmad kemana saja engkau,” tegur Abdullah tersengal-sengal. “Aku mencarimu kesan-kemari. Aku datang kerumahmu membawakan keperluanmu yang aku janjikan. Namun, ditengah perjalanan aku bertemu dengan saudagar dengan beberapa onta bermuatan penuh. Dia ingin bertemu ayahmu. Dia bilang ayahmu pernah memberi pinjaman 30 tahun yang lalu. Setelah jatuh bangun berdagang, sekarang ia telah menjadi saudagar besar di Bashrah. Kini ia akan mengembalikan uang pinjamannya, keuntungan serta hadiah-hadiah,” jelas Abdullah. “Sekarang segera pulanglah Ahmad! Harta yang banyak menunggumu. Tak perlu kau jual rumah lagi,” kata Abdullah.

Kaget bukan kepalang Ahmad mendengar perkataan sahabatnya Abdullah. Sungguh ia tak percaya dengan perkataannya itu.

“Benarkah Abdulah, benarkah?” tanya Ahmad ragu-ragu. Maka, ia berlari seperti terbang, pulang kerumahnya. Sejak itulah Ahmad menjadi orang kaya raya di kotanya.

Ahmad gemar berbuat kebajikan, apalagi kepada sahabatnya Abdullah. Pada suatu malam ia bermimpi. Sepertinya saat itu amalannya dihisab oleh para malaikat. Maka pertama-tama, dosa dan kesalahannya ditimbang. Wajahnya pucat. Berapa berat dosa yang dimilikinya. “Apakah amal kebaikan yang dilakukan dapat melebihi dosa-dosa itu?” Ahmad membatin.

Perlahan-lahan amal kebaikannya ditimbang. Pahala berderma dengan lima ribu dirham hanya ringan-ringan saja. Kata malaikat karena harus dipotong oleh kesombongan dan riya. Demikian seterusnya. Ternyata seluruh amalannya tetap tak bisa mengimbangi beratnya dosa yang ia lakukan. Ahmad menangis.

Para malaikat bertanya, “Masih adakah amal yang belum ditimbang?” “Masih ada,” kata malaikat yang lain. “Masih ada, yakni dua amalan baik lagi.”

Ternyata salah satunya adalah roti yang diberikannya kepada anak yatim dan ibunya. Makin pucatlah wajah Ahmad. “Mana mungkin amalan itu dapat menyeimbangkan dosa-dosanya yang berat,” keluhnya. Malaikat pun sibuk menimbang roti itu. Namun, ketika ditimbang, ternyata timbangan langsung terangkat. Betapa beratnya bobot amalan itu. Kini timbangan ahmad tetap seimbang. Wajahnya sedikti tenang. Ia gembira, sungguh diluar dugaannya.

“Namun amalan apalagi yang tersisa? Karena ini masih seimbang,” katanya dalam hati.

Maka malaikat pun mendatangkan dua tetes air mata syukur dan terharu ibu anak yatim atas pertolongan Ahmad. Ahmad tak menyangka kalau tetesan air mata ibu anak yatim dinilai dengan pahala untuknya. Ia bersyukur. Para malaikat pun menimbang tetes air mata. Namun, tiba-tiba dua tetes air mata itu berubah menjadi air bah bergelombang dan meluas bak lautan. Lalu dari dalamnya muncul ikan besar. Kemudian malaikat menangkap dan menimbang ikan itu yang disetarakan dengan amalan baik Ahmad. Ketika ikan menyentuh timbangan, meka seperti bobot yang sangat berat, timbangan pun segera condong kearah kebaikan.

“Dia selamat, dia selamat,” terdengar teriakan malaikat. Gembiralah hati Ahmad.

“Sekiranya aku mementingkan diri dan keluarga sendiri, maka tak adalah berat roti dan ikan itu,” Ahmad termenung gembira. Anak yatim dan ibunya itu yang telah menyelamatkan dirinya. Pada saat itu Ahmad terbangun dari mimpi.

Saudara-saudariku, .."sungguh amal yang ikhlas di tengah kesempitan, bernilai tinggi di mata Allah swt".

Diposkan oleh ed firdaus @ 2007-2010 di 2/20/2010 



Apa yang menarik dari kisah Harry Potter? Bagi saya, novel remaja tersebut telah menyelipkan sebuah adegan menarik sekaligus mengharukan: kekuatan cinta seorang ibu. Voldemort―penyihir hitam paling ditakuti―tiba-tiba kehilangan seluruh kekuatannya ketika ingin membunuh seorang bayi, setelah sebelumnya berhasil menghabisi orang tua si bayi. Dunia mistik menjai gempar atas kekalahan penyihir tersebut. Ternyata, sampai detik-detik kematiannya, sang bunda masih terus berupaya menyelamatkan Harry Potter yang masih bayi itu. Kekuatan cinta seorang ibu mampu melindungi sang anak dari bahaya.

Lepas dari kisah Harry Potter, pernahkah kita menghitung berapa liter beras dan berapa jenis makanan yang telah dimasak oleh seorang ibu untuk anaknya, berapa meter lantai telah disapu dan dipel oleh seorang ibu, berapa banyak keheningan malam dilalui sang ibu yang terjaga untuk anaknya, berapa kali kedua tangan sang ibu terangkat ketika berdoa, dan berapa banyak air mata mengalir ketika bersujud mendoakan kebahagiaan dan keselamatan anaknya. Sang ibu telah bertahun-tahun menjelma menjadi perawat untuk penyakit batuk, demam, flu, cacar, atau pun sekadar luka di kaki akibat terjatuh.

Ketika seorang sahabat Nabi bertawaf di Ka'bah sambil menggendong ibunya yang sudah sepuh, ia bertanya pada Rasul yang mulia, "Dengan ini apakah aku sudah bisa dikatakan membayar lunas jerih payah ibuku?"

Nabi menjawab," Tidak! Bahkan rasa sakit ibumu saat melahirkanmu pun tak pernah cukup terbayar dengan itu!"

Dalam bahasa lain, andai saja Anda mempunyai gunung emas yang kemudian Anda berikan semuanya berikut seluruh perbendaharaan harta Anda yang lain untuk mengganti semua yang telah dilakukan oleh seorang ibu, niscaya itu semua belum mampu membayar satu malam saja saat ibu mengasuh Anda. Tidak pernah ada kata "cukup","lunas", dan "terbayar" untuk membalas cinta seorang ibu.

Kita durhaka pada bunda bila bunda tinggal di rumah kecil dan bocor di sana-sini, sementara kita tinggal di tempat yang nyaman; kita berdosa bila kita menikmati makan siang yang lezat dan penuh gizi sementara ibunda hanya makan seadanya; kita berdosa bila menghitung biaya sekolah anak dan karena itu menghindar membelikan obat bagi bunda yang tengah sakit; kita tergolong anak durhaka bila kita sanggup piknik atau jalan-jalan dengan istri, namun selalu saja punya alasan untuk tidak bersilaturahmi ke tempat ibu (atau berziarah ke kuburannya bila ibu telah tiada). Jangan gunakan logika untuk berkhidmat pada ibu. Balas cintanya dengan cintamu. Rida Allah terletak pada rida orang tua, begitulah ajaran agama kita.

Bagaimana kita bisa membagi cinta kita untuk keluarga, pekerjaan, dan sekaligus untuk ibunda? Jawabannya: kita tidak pernah membagi cinta; tetapi kita selalu melipatkgandakannya.Balaslah kekuatan cinta ibu dengan ketulusan cinta kita; insya Allah―seperti diilustrasikan dalam kisah Harry Potter di atas―cinta sang ibu akan terus melindungi kehidupan kita.

Ya Rabbi! Ampuni dosa kami dan dosa kedua orangtua kami, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka telah menyayangi kami sewaktu kecil.[]

Wollongong, 10 April 2001



ditulis oleh Dr. H. Nadirsyah Hosen, LLM, MA (Hons), Ph.D.

ditulis di sebuah buku berjudul "Mari bicara iman" yang diterbitkan oleh penerbit zaman



Majalah Zaman baru-baru ini menampilkan sejumlah besar sajak anak-anak dalam lampiran khusus. Penulisnya adalah anak-anak di bawah umur 15 tahun. Sajak-sajak itu selam ini dimuat dalam rubrik ‘Kebun Kita’ majalah tersebut, tentu saja setelah diseleksi.

Secara keseluruhan, puisi yang terkumpul dalam tiga belas halaman itu menunjukkan kuatnya apresiasi sastra anak-anak kita dewasa ini, dan membuktikan tidak sia-sianya pelajaran Bahasa Indonesia di semua sekolah, betapa banyak kekurangan sekalipun.

Mungkin kekurangan terbesar ada pada segi perbendaharaan kata yang sangat miskin, akibat logis dari kecenderungan orang dewasa yang sangat kuat untuk menggunakan istilah dari bahasa asing atau bahasa daerah. Namun kekurangan itu diimbangi oleh kemampuan cukup besar untuk mengolah kata-kata sehingga memiliiki nuansa baru. Juga besarnya keharuan yang mendorong para penyair cilik kita untuk menciptakan puisi yang menyentuh rasa, bahkan sangat mengharukan.

Dalam pendahuluan, redaktur Zaman Jimmy Supangkat menyidik besarnya rasa murung yang ada dalam karya-karya tulis itu, terutama dalam sajak berbentuk doa. Jenis ini cukup banyak, 56 buah, namun banyak yang cengeng, ungkapannya kebanyakan klise belaka dan sarat dengan pengaduan masalah yang tak terselesaikan.

Yang barangkali perlu dipahami adalah justru arti penting dari banyaknya jumlah sajak berbentuk doa – sebuah kenyataan yang sekaligus memantulkan keadaan kita dewasa ini maupun potensi yang dimilikinya untuk menatap masa depan yang sehat dan baik.

Sajak doa dapat saja bewatak pelarian, terlalu mendambakan utopia. Dalam hai itu, ia akan berfingsi negatif bagi masa depan karena manusia kehilangan kemampuan melihat realitas kehidupa.

Hal seperti itu tidak tampak dalam kumpulan sajak anak-anak yang dikumpulkan majalah Zamanitu. Umpamanya sajak dapat dilihat dari kedewasaan dialog para penyair cilik itu dengan Tuhan mereka masing-masing. Tuhan menggumpal jadi sasaran kebutuhan duniawi Zul Irwan, yang masih belum yakin dengan kemampuannya mempersiapkan diri menghadapi tugas sekolah, dalam kata-katanya:

Tuhan...// berikan aku mimpi malam ini // tentang matematika // yang diujikan besok pagi

Sudah tentu ia sendiri paling sadar bahwa Tuhan tidak akan menuruti permintaan kocak tersebut.

Tuhan jugalah yang menjadi sasaran kebingungan Adi Utomo Hatmoko yang mengalami keterputusan komunikasi, ketika ia berdoa:

Doa sudah kuakhiri // sehingga engkau tidak bakal mengerti // Amin

Sebaliknya, Agatha Artistayudha menggugat suasana tidak peduli kepada Tuhan , dalam sajaknya ‘Kita Suci’:

Engkau di dalamnya,Tuhan // terpepet // dan // menjadi makanan rayap // ketika semua orang // tak menghiraukanmu lagi.

Bisa juga Tuhan menjadi objek kekenesan belaka, seperti diperbuat Sri Pinurih:

Tuhanku... // (aku tak sanggup meneruskan // karena tenggelam // dalam isak tangis // kedukaan)

Atau Tuhan menjadi objek sikap manja Rusbandi dalam sajak ‘Kepada Tuhan’:

Tuhan, bukan bintang yang ingin kuminta // bukan pula bulan // aku hanya minta sebuah kitab // yang berisikan puisi // untuk ayah dan bunda

Dalam sajak-sajak mereka, ada juga kesadaran yang dewasa tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti ‘Doa’ Avida Virya yang tadinya meminta baju baru dari Tuhan:

Aku mendengar // Tuhan berkata: // engkau tak perlu gelisah // mama-mu akan memberimu // bahkan lebih baik lagi

Dalam pola inilah para penyair cilik itu menuntut kejujuran dalam hubungan dengan Tuhan, seperti ungkapan Dewi Marhaini Nasution:

Tuhanku // kupandang mata ibuku dalam-dalam // agar dapat melihat // apakah ibuku jadi juga pergi ke masjid // Bersembahyang Isa

Di samping tuntutan tersebut, penyair cilik ini juga merasakan kehadiran Tuhan dalam bentuk yang sangat sublim:

Sungguh aku tak tahu // bahwa Tuhan itu // adalah Kau // Yang setiap saat kujampai // lewat permainan kami tadi

Mohammad Sofyan juga merasakan kehadiran Tuhan dalam kedekatan hubungan antara sesama manusia, walaupun dalam arti yang lain:

Bila Kau hendak memanggil // panggil aku sendiri // Bila Kau hendak memberi // jangan aku sendiri.

Betapa polosnya hubungan mereka dengan Tuhan. Inilah yang mungkin akan mengekalkan penghayatan keimanan bangsa ini, bukannya khotbah para agamawan ataupun diskusi pemikiran agama.

Seolah-olah para penyair cilik itu mengerti benar bahwa masalah dasar bangsi ini hanya teratasi, kalau warga bangsa memiliki wawasan transedental yang kaya, yang memungkinkan mereka menemukan harkat manusia.

Wawasan seperti itu hanya akan tercapai, kalau manusia mampu bedialog dan mereka dekat dengan Tuhannya. Keakraban manusia dalam keadaan begitu, akan diimbangi oleh keakraban Tuhan dengan dirinya, yang akan memberinya kekuatan menyelesaikan kemelut yang diciptakannyasendiri.

Dengan kemampuan para penyair cilik itu untuk merasa dekat dengan Tuhan, seperti digambarkan di atas, jadi nyata bagi kita bahwa Tuhan pun merasa akrab dengan mereka. Mampukah kita mencari keakraban seperti itu?

Kita dapat belajar dari Rudiawan Triwidodo dalam sajak ‘Doa di Bibir Sumur’, ketika ia mengharapkan ‘tetesan air mata Tuhan’:

Agar tersedu tangis kami dengan wajar // sebab hampir Terlupa bagaimana kami // harus menangis // dengan benar // Mensyukuri berkat dan rahmatMu // yang melimpah // di luar sadar kami // agar basah sumur-sumur kami // tersiram Air kasih yang memancar dari // sumber keMahaanMu / Amin



Tuhan Akrab dengan Mereka. Tempo. (8 Januari 1983)



[copas dari @Kang Dullah Pujangganyasar]



assalamualaikum

mohon maaf numpang titip cerita

"disebuah warung kopi remang-remang saya dan bolo-bolo gelandangan cangkruan mbanyol ngalor ngidul sambil jelalatan nyuci mata

dewa mabuk ; kang dul apa pendapat sampeyan tenteng agama

saya ; agama adl mainstream dari kekurang ajaran kita agar kita bisa menjalani

... hidup dengan kodrat seorang manusia yang bisa memayu hayuning bawono

(menebarkan kedamaian dimuka bumi)

dewa judi ; lah apa iya, lha itu org2 seagamanya sampeyan yang tampangnya alim2

malah mengobral keresahan, lha gimana tidak wong sesama agamanya

saling benteng ceweng rebutan "aku" yang tidak sependapat

dibidngahkan dan dikafirkan. lha makanya saya ini tidak memilih agama

manapun karna bingung, yg sana bilang paling benar lainnya salah

semuayang situ juga sama ya wes akhirnya saya milih seni aja karna

seni gak pernah naya kamu kafir apa iman kamu benar apa salah kamu

atheis apa bertuhan yang penting mau berindah ya jadi seni

dewi cinta ; ya bener sampeyan kang dewa judi, lha saya ini sebenernya sudah

cape ingin berhenti eee malah diolok2 katanya saya ini intip neraka gak

pantes deket2 mereka

saya ; begini ya bolo2 semua, memang benar seni itu merangkul semuanya namun

agama sebenernya lebih luas daripada itu agama nggak pernah membedakan

manusia satu dg yg lainnya semua dirangkul karna tujuan agama itu membawa

rahmat bukan laknat. agama itu sangat luas cakupannya dan manusia terbatas

akal dan jiwanya ndak mampu kita memahami agama secara mutlak

keseluruhan bagiannya, makanya setiap manusia itu dibekali kelebihan

masing2 yang tidak dimiliki yg lainnya dg tujuan utk saling melengkapi bukan

menang sendiri, nah kalau ada org2 yg menyalahkan org lain seakan hanya

dirinya?golongannya yang paling benar maka itu hanyalah org2 yg inginmenampung lautan dg cangkir kopi ini hehehehehehe



caution ; mohon maaf kami tidak bertanggung jawab apabila ada yg kesasar karnapercaya omongan orang nyasar hehehehehehehe



Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Bukan Ajarannya, melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri, yang meliputi kelembagaannya. Mula-mula seorang Nabi pembawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti (khalifah) meneruskan kepemimpinannya secara berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya berujung pada sistem pemerintahan monarkhi.

Begitu banyak perkembangan terjadi. Sekarang ada sekian republik dan sekian kerajaan mengajukan klaim sebagai ‘Negara Islam’, dengan ideologi politik yang bukan saja saling berbeda, melainkan saling bertentangan dan masing-masing menyatakan diri sebagai ‘ideologi Islam’. Jika di bidang politik tejadi ‘pemakaran’ serba beragam, walau sangat sporadis, seperti itu, apalagi di bidang-bidang lain.

Hukum agama masa awal Islam kemudian berkembang menjadi fiqh, yurisprudensi karya korps ulama pejabat pemerintah (qadi, mufti, dan hakim) dan ulama ‘non-korpri’. Kekayaan sangat beragam itu kemudian disistematisasikan ke dalam beberapa buah madzhab fiqh, masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum (legal theory) tersendiri.

Terkemudian lagi muncul pula deretan pembaruan yang radikal, setengah radikal, dan sama sekali tidak radikal. Pembaruan demi pembaruan dilancarkan, semuanya mengajukan klaim memperbaiki fiqh dan menegakkan ‘hukum agama yang sebenarnya’, dinamai syari’ah. Padahal kaum pengikut fiqh dari berbagai madzhab juga menamai anutan mereka sebagai syari’ah.

Kalau di bidang politik-termasuk doktrin kenegaraan-dan hukum saja sudah begitu keadaannya, apalagi di bidang-bidang lain: pendidikan, budaya, dan kemayarakatan. Tampak sepintas lalu bahwa kaum muslimin terlibat dalam sengketa di semua aspek kehidupan, tanpa terputus-putus. Dan, hal ini lalu dijadikan kambing hitam atas melemahnya posisi dan kekuatan masyarakat Islam (ummah).

Dengan sendirinya kemudian muncul kedambaan akan pemulihan posisi dan kekuatan, melalui pencarian pemahaman yang menyatu dalam Islam, mengenai seluruh aspek kehidupan. Dengan dibantu oleh komunikasi yang semakin lancar antara bangsa-bangsa muslim semenjak abad yang lalu, dan kekuatan petrodollar negara-negara Arab kaya minyak, kebutuhan akan ‘penyatuan’ pandangan itu akhirnya menampilkan diri dalam kecenderungan sangat kuat untuk menyeragamkan pandangan. Tampillah dengan demikian sosok tubuh baru: Formalisme Islam.

Masjid beratap genteng, yang sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri di negeri kita, dituntut untuk ‘dikubahkan’. Budaya Wali Songo yang ‘serba Jawa’, Saudati Aceh, dan Tabut Pariaman didesak ke pinggiran oleh qashidahyang berbahasa Arab. Bahkan ikat kepala lokal (udeng atau iket di Jawa) harus mengalah pada sorban ‘merah putih’ model Yasser Arafat.

Begitu juga hukum agama, harus diseragamkan dan diformalkan: harus ada sumber pengambilan formalnya, Al-Qur’an dan Hadits, padahal dahulu cukup dengan apa kata kiai. Pandangan kenegaraan dan ideologi politik tidak kalah dituntut harus ‘universal’: yang benar hanyalah paham Sayyid Qutb, Abul A’la Al-Maududi, atau Khomeini. Pendapat lain, yang sarat dengan latar belakang lokal masing-masing, mutlak dinyatakan salah.

Lalu, dalam keadaan demikian, tidakkah kehidupan kaum muslimin tercabut dari akar-akar budaya lokalnya? Tidakkah ia terlepas dari kerangka kesejarahan di masing-masing tempat? Di Mesir, Suriah, Iraq, dan Aljazair, Islam ‘dibuat’ menentang nasionalisme Arab-yang juga masing-masing bersimpang-siur warna ideologisnya.

Di India ia menolak wewenang mayoritas penduduk yang beragama Hindu, untuk menentukan bentuk kenegaraan yang diambil. Di Arab Saudi bahkan menumpas keinginan membaca buku-buku filsafat dan melarang menyimak literatur tentang sosialisme. Di negeri kita, sayup-sayup suara terdengar untuk menghadapkan Islam dengan Pancasila secara konfrontatif-yang sama bodohnya dengan upaya sementara pihak untuk menghadapkan Pancasila dengan Islam.

Anehkah kalau terbetik di hati adanya keinginan sederhana: Bagaimana melestarikan akar-akar budaya lokal yang telah memiliki Islam di negeri ini? Ketika orang-orang Kristen meninggalkan pola Gereja Katedral ‘serba Gothik’ di kota-kota besar dan ‘gereja kota kecil’ model Eropa, dan mencoba menggali arsitektur asli kita sebagai pola baru bangunan gereja, layakkah kaum muslimin lalu ‘berkubah’ model Timur Tengah dan India? Ketika ekspresi kerohanian umat Hindu menemukan vitalitasnya pada gending tradisional Bali, dapatkah kaum muslimin ‘berkashidahan Arab’ dan melupakan ‘pujian’ berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang?

Juga, mengapa harus menggunakan kata ‘shalat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‘dimushalakan’, padahal dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai, sekarang harus ustadz dan syaikh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini?

Kesemua kenyataan di atas membawakan tuntutan untuk membalik arus perjalanan Islam di negeri kita, dari formalisme berbentuk ‘Arabisasi total’ menjadi kesadaran akan perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal dan kerangka kesejarahan kita sendiri, dalam mengembangkan kehidupan beragama Islam di negeri ini. Penulis menggunakan istilah ‘pribumisasi Islam’ karena kesulitan mencari kata lain. ‘Domestikasi Islam’ terasa berbau politik, yaitu penjinakan sikap dan pengebirian pendirian.

Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan ‘Quran Batak’ dan ‘Hadits Jawa’. Islam tetap Islam, di mana saja berada. Akan tetapi tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk luar’nya. Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’, sebagai manifestasi kehidupan?



Salahkah Jika Dipribumikan? Tempo. (19 Juli 1980)

dengan sedikit pengubahan



Islam agamaku, nomor satu di dunia
Islam benderaku, berkibar dimana-mana
Islam tempat ibadahku, mewah bagai istana
Islam tempat sekolahku, tak kalah dengan lainnya
Islam sorbanku
Islam sajadahku
Islam kitabku
Islam podiumku, kelas eksklusif yang mengubah cara dunia
memandangku
Tempat aku menusuk kanan-kiri
Islam media-massaku, gaya komunikasi islami masa kini
Tempat aku menikam sana-sini
Islam organisasiku
Islam perusahaanku
Islam yayasanku
Islam instansiku, menara dengan seribu pengeras suara
Islam muktamarku, forum hiruk-pikuk tiada tara
Islam bursaku
Islam warungku, hanya menjual makanan sorgawi
Islam supermarketku, melayani segala keperluan manusiawi
Islam makananku
Islam teaterku, menampilkan karakter-karakter suci
Islam festivalku, memeriahkan hari-hari mati
Islam kausku
Islam pentasku
Islam seminarku, membahas semua
Islam upacaraku, menyambut segala
Islam puisiku, menyanyikan apa
Tuhan, Islamkah aku?
-Gus Mus-
Rembang, 1. 1413



Oleh : A. Mustofa Bisri



Di tengah-tengah himpitan daging-daging doa

di pelataran rumahmu yang agung

aku mengalirkan diri dan ratapku

hingga terantuk pada dinding mustajab-Mu

menumpahkan luap pinta di dadaku

Ku baca segala yang bisa ku baca

dalam berbagai bahasa runduk hamba dari tahlil ke tasbih,

dari tasbih ke tahmid, dari tahmid ke takbir,

dari takbir ke istighfar, dari istighfar ke syukur,

dari syukur ke khauf, dari khauf ke raja, dari raja ke khauf

raja khauf

khauf raja

raja khauf

khauf raja

sampai tawakkal



Tiba-tiba sebelum benar-benar fana melela dari arah Multazam

seorang wanita cantik sekali

masya Allah tabarakAllah !

Allah, apa amalku jikak kurnia

apa dosaku jika coba ?



Allah, putih kulitnya dalam putih kerudungnya

Indah sekali alisnya

Indah sekali matanya

Indah sekali hidungnya

Indah sekali bibirnya

Dalam indah wajahMu



Allahku, ku nikmati keindahan dalam keindahan

Di atas keindahan di bawah keindahan

Di kanan-kiri keindahan

Di tengah-tengah keindahan yang indah sekali



Allahku, inilah kerapuhanku ! tak kutanyakan kenapa

Engkau bertanya bukan ditanya kenapa

Tapi apa jawabku ?—ampunilah aku—tanyalah jua yang ku punya kini :



Allahku mukallafkah aku dalam keindahanMu ?

Selasa, 21 Mei 2013


Dalam sebuah kitab Imam al-Ghazali disebutkan peristiwa Iblis sebelum dilaknat oleh Allah. Cerita tentang kesombongan, tentang takabur, tentang selalu berbangga diri pun, adalah sebuah kisah yang lebih tua dibanding penciptaan manusia.

Ia hadir dan berawal ketika manusia masih dalam perencanaan penciptaan. Karena hanya para malaikat makhluk yang diciptakan sebelum manusia, kesombongan sejatinya berhulu dari malaikat.

Adalah AZAZIL, termasuk dari golongan yang didekatkan, yang dikenal penduduk surga karena doanya mudah dikabulkan oleh Allah. Karena selalu dikabulkan oleh Allah, bahkan para malaikat pernah memintanya untuk mendoakan agar mereka tidak tertimpa laknat Allah.

Tersebutlah suatu ketika saat berkeliling di surga, malaikat Israfil mendapati sebuah tulisan "Seorang hamba Allah yang telah lama mengabdi akan mendapat laknat dengan sebab menolak perintah Allah."

Tulisan yang tertera di salah satu pintu syurga itu, tak pelak membuat Israfil menangis. Ia takut, itu adalah dirinya. Beberapa malaikat lain juga menangis dan punya ketakutan yang sama seperti Israfil, setelah mendengar kabar perihal tulisan di pintu surga itu dari Israfil. Mereka lalu sepakat mendatangi Azazil dan meminta didoakan agar tidak tertimpa laknat dari Allah. Setelah mendengar penjelasan dari Israfil dan para malaikat yang lain, Azazil lalu memanjatkan doa. "Ya Allah. Janganlah Engkau murka atas mereka."

Di luar doanya yang mustajab, Azazil dikenal juga sebagai Sayidul Malaikat alias penghulu para malaikat dan Khazinul Jannah (bendaharawan surga). Semua lapis langit dan para penghuninya, menjuluki Azazil dengan sebutan penuh kemuliaan meski berbeda-beda.

Pada langit lapis pertama , ia berjuluk Aabid, ahli ibadah yang mengabdi luar biasa kepada Allah pada langit lapis pertama, Di langit lapis kedua, julukan pada Azazil adalah Raki atau ahli ruku kepada Allah, Di langit lapis ke tiga, ia berjuluk Saajid atau ahli sujud, Di langit ke empat ia dijuluki Khaasyi karena selalu merendah dan takluk kepada Allah, Di langit lapis kelima menyebut Azazil sebagai Qaanit Karena ketaatannya kepada Allah, Di langit keenam Gelar Mujtahid, karena ia bersungguh-sungguh ketika beribadah kepada Allah. Pada langit ketujuh, ia dipanggil Zaahid, karena sederhana dalam menggunakan sarana hidup.

Selama 120 ribu tahun, Azazil, si Penghulu Para Malaikat menyandang semua gelar kehormatan dan kemuliaan, hingga tibalah ketika para malaikat melakukan musyawarah besar atas undangan Allah. Ketika itu, Allah, Zat pemilik kemutlakan dan semua niat, mengutarakan maksud untuk menciptakan pemimpin di bumi.

"Sesungguhnya Aku hendak menciptakan seorang khalifah (pemimpin) di muka bumi." begitulah firman Allah.(QS. Al Baqarah : 30) Semua malaikat hampir serentak menjawab mendengar kehendak Allah. "Ya Allah, mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di muka bumi, yang hanya akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di bumi, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau." (QS. Al Baqarah : 30)

Allah menjawab kekhawatiran para malaikat dan meyakinkan bahwa, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al Baqarah : 30)

Allah lalu menciptakan manusia pertama yang diberi nama Adam. Kepada para malaikat, Allah memperagakan kelebihan dan keistimewaan Adam, yang menyebabkan para malaikat mengakui kelebihan Adam atas mereka. Lalu Allah menyuruh semua malaikat agar bersujud kepada Adam, sebagai wujud kepatuhan dan pengakuan atas kebesaran Allah. Seluruh malaikat pun bersujud, kecuali Azazil.

"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat "Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir" (Al Baqarah: 34)

Berawal dari Surga Sebagai penghulu para malaikat dengan semua gelar dan sebutan kemuliaan, Azazil merasa tak pantas bersujud pada makhluk lain termasuk Adam karena merasa penciptaan dan statusnya yang lebih baik. Allah melihat tingkah dan sikap Azazil, lalu bertanya sembari memberi gelar baru baginya Iblis. "Hai Iblis, apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri (takabur) ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi?"

Mendengar pernyataan Allah, bukan permintaan ampun yang keluar dari Azazil, sebaliknya ia malah menantang dan berkata (gambaran rangkuman dari beberapa sumber (buku dan narasumber) : Wahai Allah, Bagaimana aku bisa sujud kepada adam sedangkan Engkau sendiri telah membisikkan sesuatu kepadaku bahwa ini adalah bagian kehendakMu Bagaimana bisa aku sujud kepada yang selain Engkau, Selama ini aku dan Engkau adalah satu dan pengetahuanMu adalah pengetahuanku, dalam keKuasaanMu Bagaimana aku bisa sujud kepada makhluk yang akan menumpahkan darah dan permusuhan Bagaimana aku bisa sujud kepada makhluk yang hanya sedikit saja diantara mereka yang akan Mengagungkan Engkau Bagaimana aku bisa sujud kepada adam dan anak cucunya yang kelak sebagian besar dari mereka akan memusuhi agama Engkau, sedangkan pengetahuan ini adalah Engkau sendiri yang membukakannya untukku

"Ya Allah,sungguh Engkau telah ciptakan aku dari 'api yang menyala' dan Engkau ciptakan dia dari 'tanah' maka aku tidak akan sudi sujud kepada dia .."

"SUJUDLAH KAMU KEPADA ADAM" "Demi KeBesaranMu ... aku tidak akan sujud kepada yang selain Engkau"

"SUJUDLAH KAMU KEPADA ADAM" "Sungguh hanya kepadaMu saja hamba bersujud"

Mendengar jawaban Azazil yang sombong, Allah berfirman. "Keluarlah kamu dari surga. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang diusir".

Azazil alias Iblis, sejak itu tak lagi berhak menghuni surga. Kesombongan dirinya, yang merasa lebih baik, lebih mulia dan sebagainya dibanding makhluk lain telah menyebabkannya menjadi penentang Allah yang paling nyata. Padahal Allah sungguh tak menyukai orang-orang yang sombong. Diharamkan-Nya Surga bagi orang yang dalam hatinya ada rasa sombong meskipun seberat biji sawi.

Bibit kesombongan dari Azazil sejatinya sudah bersemai sejak Israfil dan para malaikat mendatanginya agar mendoakan mereka kepada Allah. Waktu itu, ketika mendengar penjelasan Israfil, Azazil berkata, "Ya Allah! Hamba-Mu yang manakah yang berani menentang perintah-Mu, sungguh aku ikut mengutuknya."

Azazil lupa, dirinya adalah juga hamba Allah dan tak menyadari bahwa kata "hamba" yang tertera pada tulisan di pintu surga, bisa menimpa kepada siapa saja, termasuk dirinya.

Lalu, demi mendengar ketetapan Allah, Iblis bertambah nekat seraya meminta kepada Allah agar diberi dispensasi. Katanya, "Ya Allah, beri tangguhlah aku sampai mereka ditangguhkan."

Allah bermurah hati, dan Iblis mendapat apa yang dia minta yaitu masa hidup panjang selama manusia masih hidup di permukaan bumi sebagai khalifah. Dasar Iblis, Allah yang maha pemurah, masih juga ditawar. Ia lantas bersumpah akan menyesatkan Adam dan anak cucunya, seluruhnya, Kecuali hamba-hambaMu yang mukhlis di antara mereka. "

Maka kata Allah, "Yang benar adalah sumpah-Ku dan hanya kebenaran itulah yang Kukatakan. Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka jahanam dengan jenis dari golongan kamu dan orang-orang yang mengikutimu di antara mereka semuanya."

Menular pada Manusia Korban pertama dari usaha penyesatan yang dilakukan Iblis, tentu saja adalah Adam dan Hawa. Dengan tipu daya dan rayuan memabukkan, Nabi Adam as. dan Siti Hawa lupa pada perintah dan larangan Allah. Keduanya baru sadar setelah murka Allah turun.

Terlambat memang, karena itu Adam dan Hawa diusir dari surga dan ditempatkan di bumi. Dan sukses Iblis menjadikan Adam dan Hawa sebagai korban pertama penyesatannya, tak bisa dilihat sebagai sebuah kebetulan. Adam dan Hawa, bagaimanapun adalah Bapak dan Ibu seluruh manusia, awal dari semua sperma dan indung telur. Mereka berdua, karena itu menjadi alat ukur keberhasilan atau ketidakberhasilan Iblis menyesatkan manusia.

Jika asal usul seluruh manusia saja berhasil disesatkan, apalagi anak cucunya. Singkat kata, kesesatan yang di dalamnya juga ada sombong, takabur, selalu merasa paling hebat, lupa bahwa masih ada Allah, juga sangat bisa menular kepada manusia sampai kelak di ujung zaman.

Di banyak riwayat, banyak kisah tentang kaum atau umat terdahulu yang takabur menentang dan memperolokkan hukum-hukum Allah, sehingga ditimpakan kepada mereka azab yang mengerikan. Kaum Aad, Tsamud, umat Nuh, kaum Luth, dan Bani Israil adalah sedikit contoh dari bangsa-bangsa yang takabur dan sombong lalu mereka dinistakan oleh Allah, senista-nistanya. Karena sifat takabur pula, sosok-sosok seperti Fir'aun si Raja Mesir kuno, Qarun, Hamaan dan Abu Jahal juga mendapatkan azab yang sangat pedih di dunia dan pasti kelak di akhirat.


Kisah Musa dan Khaiḍir dituturkan oleh Al-Qur’an dalam Surah Al-Kahf ayat 65-82. Menurut Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab menceritakan bahwa beliau mendengar nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya pada suatu hari, Musa berdiri di khalayak Bani Israil lalu beliau ditanya, “Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa, “Aku” Lalu Allah menegur Nabi Musa dengan firman-Nya, “Sesungguhnya di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu.”

Lantas Musa pun bertanya, “Wahai Tuhanku, dimanakah aku dapat menemuinya?” Allah pun berfirman, “Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan di dalam sangkar dan sekiranya ikan tersebut hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku itu.” Sesungguhnya teguran Allah itu mencetuskan keinginan yang kuat dalam diri Nabi Musa untuk menemui hamba yang sholeh itu. Di samping itu, Nabi Musa juga ingin sekali mempelajari ilmu dari Hamba Allah tersebut.

Musa kemudiannya menunaikan perintah Allah itu dengan membawa ikan di dalam wadah dan berangkat bersama-sama pembantunya yang juga merupakan murid dan pembantunya, Yusya bin Nun.

Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah batu dan memutuskan untuk beristirahat sejenak karena telah menempuh perjalanan cukup jauh. Ikan yang mereka bawa di dalam wadah itu tiba-tiba meronta-ronta dan selanjutnya terjatuh ke dalam air. Allah SWT membuatkan aliran air untuk memudahkan ikan sampai ke laut. Yusya` tertegun memperhatikan kebesaran Allah menghidupkan semula ikan yang telah mati itu.

Selepas menyaksikan peristiwa yang sungguh menakjubkan dan luar biasa itu, Yusya’ tertidur dan ketika terjaga, beliau lupa untuk menceritakannya kepada Musa Mereka kemudiannya meneruskan lagi perjalanan siang dan malamnya dan pada keesokan paginya,

“ Nabi Musa berkata kepada Yusya` “Bawalah ke mari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (Surah Al-Kahfi : 62) ”

Ibn `Abbas berkata, “Nabi Musa sebenarnya tidak merasa letih sehingga baginda melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah supaya menemui hamba-Nya yang lebih berilmu itu.” Yusya’ berkata kepada Nabi Musa,

“ “Tahukah guru bahwa ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak lain yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu kembali masuk kedalam laut itu dengan cara yang amat aneh.” (Surah Al-Kahfi : 63) ”

Musa segera teringat sesuatu, bahwa mereka sebenarnya sudah menemukan tempat pertemuan dengan hamba Allah yang sedang dicarinya tersebut. Kini, kedua-dua mereka berbalik arah untuk kembali ke tempat tersebut yaitu di batu yang menjadi tempat persinggahan mereka sebelumnya, tempat bertemunya dua buah lautan.

“ Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Surah Al-Kahfi : 64) ”

Terdapat banyak pendapat tentang tempat pertemuan Musa dengan Nabi Khaidir as. Ada yang mengatakan bahwa tempat tersebut adalah pertemuan Laut Romawi dengan Parsia yaitu tempat bertemunya Laut Merah dengan Samudra Hindia. Pendapat yang lain mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di tempat pertemuan antara Laut Roma dengan Lautan Atlantik. Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di sebuah tempat yang bernama Ras Muhammad yaitu antara Teluk Suez dengan Teluk Aqabah di Laut Merah.

Setibanya mereka di tempat yang dituju, mereka melihat seorang hamba Allah yang berjubah putih bersih. Nabi Musa as pun mengucapkan salam kepadanya. Nabi Khaidir menjawab salamnya dan bertanya, “Dari mana datangnya kesejahteraan di bumi yang tidak mempunyai kesejahteraan? Siapakah kamu?” Jawab Musa, “Aku adalah Musa.” nabi Khaidir as bertanya lagi, “Musa dari Bani Isra’il?” Nabi Musa as menjawab, “Ya. Aku datang menemui tuan supaya tuan dapat mengajarkan sebagian ilmu dan kebijaksanaan yang telah diajarkan kepada tuan.”

Nabi Khaidir as menegaskan, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersama-samaku.” (Surah Al-Kahfi : 67) “Wahai Musa, sesungguhnya ilmu yang kumiliki ini ialah sebahagian daripada ilmu karunia dari Allah yang diajarkan kepadaku tetapi tidak diajarkan kepadamu wahai Musa. Kamu juga memiliki ilmu yang diajarkan kepadamu yang tidak kuketahuinya.”

“ Nabi Musa as berkata, “Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun.” (Surah Al-Kahfi : 69) ”

“ Dia (Khaidir) selanjutnya mengingatkan, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sehingga aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Surah Al-Kahfi : 70) ”

Perjalanan Nabi Khaidir as dan Nabi Musa as

Demikianlah seterusnya Nabi Musa as mengikuti Nabi Khaidir as dan terjadilah beberapa peristiwa yang menguji diri Nabi Musa as yang telah berjanji bahwa dia tidak akan bertanya sebab sesuatu tindakan diambil oleh Nabi Khaidir as. Setiap tindakan Nabi Khaidir a.s. itu dianggap aneh dan membuat Nabi Musa as terperanjat.

Kejadian yang pertama adalah saat Nabi Khaidir menghancurkan perahu yang ditumpangi mereka bersama. Nabi Musa as tidak kuasa untuk menahan hatinya untuk bertanya kepada Nabi Khaidir as. Nabi Khaidir as memperingatkan janji Nabi Musa as, dan akhirnya Nabi Musa as meminta maaf karena kalancangannya mengingkari janjinya untuk tidak bertanya terhadap setiap tindakan Nabi Khaidir as.

Selanjutnya setelah mereka sampai di suatu daratan, Nabi Khidir membunuh seorang anak yang sedang bermain dengan kawan-kawannnya. Peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Nabi Khidir tersebut membuat Nabi Musa tak kuasa untuk menanyakan hal tersebut kepada Nabi Khidir. Nabi Khidir kembali mengingatkan janji Nabi Musa, dan beliau diberi kesempatan terakhir untuk tidak bertanya-tanya terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Khidir, jika masih bertanya lagi maka Nabi Musa harus rela untuk tidak mengikuti perjalanan bersama Nabi Khidir.

Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai disuatu wilayah perumahan. Mereka kelelahan dan hendak meminta bantuan kepada penduduk sekitar. Namun sikap penduduk sekitar tidak bersahabat dan tidak mau menerima kehadiran mereka, hal ini membuat Nabi Musa as merasa kesal terhadap penduduk itu. Setelah dikecewakan oleh penduduk, Nabi Khaidir as malah menyuruh Nabi Musa as untuk bersama-samanya memperbaiki tembok suatu rumah yang rusak di daerah tersebut. Nabi Musa as tidak kuasa kembali untuk bertanya terhadap sikap Nabi Khaidir as ini yang membantu memperbaiki tembok rumah setelah penduduk menzalimi mereka. Akhirnya Nabi Khaidir as menegaskan pada Nabi Musa as bahwa beliau tidak dapat menerima Nabi Musa as untuk menjadi muridnya dan Nabi Musa as tidak diperkenankan untuk terus melanjutkan perjalannya bersama dengan Nabi Khaidir as.

Selanjutnya Nabi Khaidir as menjelaskan mengapa beliau melakukan hal-hal yang membuat Nabi Musa as bertanya. Kejadian pertama adalah Nabi Khaidir as menghancurkan perahu yang mereka tumpangi karena perahu itu dimiliki oleh seorang yang miskin dan di daerah itu tinggallah seorang raja yang suka merampas perahu miliki rakyatnya.

Kejadian yang kedua, Nabi Khaidir as menjelaskan bahwa beliau membunuh seorang anak karena kedua orang tuanya adalah pasangan yang beriman dan jika anak ini menjadi dewasa dapat mendorong bapak dan ibunya menjadi orang yang sesat dan kufur. Kematian anak ini digantikan dengan anak yang sholeh dan lebih mengasihi kedua bapak-ibunya hingga ke anak cucunya.

Kejadian yang ketiga (terakhir), Nabi Khaidir as menjelaskan bahwa rumah yang dinding diperbaiki itu adalah milik dua orang kakak beradik yatim yang tinggal di kota tersebut. Didalam rumah tersebut tersimpan harta benda yang ditujukan untuk mereka berdua. Ayah kedua kakak beradik ini telah meninggal dunia dan merupakan seorang yang sholeh. Jika tembok rumah tersebut runtuh, maka bisa dipastikan bahwa harta yang tersimpan tersebut akan ditemukan oleh orang-orang di kota itu yang sebagian besar masih menyembah berhala, sedangkan kedua kakak beradik tersebut masih cukup kecil untuk dapat mengelola peninggalan harta ayahnya. Dipercaya tempat tersebut berada di negeri Antakya, Turki.

Akhirnya Nabi Musa as. sadar hikmah dari setiap perbuatan yang telah dikerjakan Nabi Khaidir as. Akhirya mengerti pula Nabi Musa as dan merasa amat bersyukur karena telah dipertemukan oleh Allah dengan seorang hamba Allah yang sholeh yang dapat mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak dapat dituntut atau dipelajari yaitu ilmu ladunni. Ilmu ini diberikan oleh Allah SWT kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Nabi Khaidir as yang bertindak sebagai seorang guru banyak memberikan nasehat dan menyampaikan ilmu seperti yang diminta oleh Nabi Musa as, dan Nabi Musa as menerima nasehat tersebut dengan penuh rasa gembira.

Saat mereka didalam perahu yang ditumpangi, datanglah seekor burung lalu hinggap di ujung perahu itu. Burung itu meneguk air dengan paruhnya, lalu Nabi Khaidir as berkata, “Ilmuku dan ilmumu tidak berbanding dengan ilmu Allah, Ilmu Allah tidak akan pernah berkurang seperti air laut ini karena diteguk sedikit airnya oleh burung ini.”

Sebelum berpisah, Nabi Khaidir as berpesan kepada Musa: “Jadilah kamu seorang yang tersenyum dan bukannya orang yang tertawa. Teruskanlah berdakwah dan janganlah berjalan tanpa tujuan. Janganlah pula apabila kamu melakukan kekhilafan, berputus asa dengan kekhilafan yang telah dilakukan itu. Menangislah disebabkan kekhilafan yang kamu lakukan, wahai Ibnu `Imran.”

Hikmah kisah Nabi Khaidir as

Dari kisah Nabi Khaidir as ini kita dapat mengambil pelajaran penting. Diantaranya adalah Ilmu merupakan karunia Allah SWT, tidak ada seorang manusia pun yang boleh mengklaim bahwa dirinya lebih berilmu dibanding yang lainnya. Hal ini dikarenakan ada ilmu yang merupakan anugerah dari Allah SWT yang diberikan kepada seseorang tanpa harus mempelajarinya (Ilmu Ladunni, yaitu ilmu yang dikhususkan bagi hamba-hamba Allah yang sholeh dan terpilih)

Hikmah yang kedua adalah kita perlu bersabar dan tidak terburu-buru untuk mendapatkan kebijaksanaan dari setiap peristiwa yang dialami. Hikmah ketiga adalah setiap murid harus memelihara adab dengan gurunya. Setiap murid harus bersedia mendengar penjelasan seorang guru dari awal hingga akhir sebelum nantinya dapat bertindak diluar perintah dari guru. Kisah Nabi Khaidir as ini juga menunjukan bahwa Islam memberikan kedudukan yang sangat istimewa kepada guru.


Assalamu'alaikum,,,,

Tiba-tiba

dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.

'Bolehkah saya masuk?' tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya

masuk, 'Maafkanlah, ayahku sedang demam', kata Fatimah yang membalikkan

badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, 'Siapakah itu wahai anakku?'

'Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,'

tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan

pandangan yang menggetarkan.

Seolah-olah bahagian demi! bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.

'Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia.

Dialah malaikatul maut,' kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan

tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan

kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.

Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas

langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

'Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?', tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.

'Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.

'Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,' kata Jibril.

Tapi

itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh

kecemasan. 'Engkau tidak senang mendengar khabar ini?', tanya Jibril

lagi.

'Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?'

'Jangan

khawatir, wahai Rasul ! Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman

kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad

telah berada di dalamnya,' kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik.

Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. 'Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.'

Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.

'Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?'

Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.

'Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,' kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.

'Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.'

Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.

Bibirnya

bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, ! Ali segera mendekatkan

telinganya. 'Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku'

'peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.'

Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.

Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.

'Ummatii,ummatii,ummatiii?' - 'Umatku, umatku, umatku'

Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu.

Kini,,,apa yang sudah kita lakukan untuk Rosulullah????

untuk membasahi lisan dan bibir kita dgn bacaan sholawat saja terkadang kita lupa!!!


Allahumma sholli 'ala sayidina Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi


Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.



Tahukah anda siapa yang sangat berjasa dalam menemukan makam dari Imam al Bukhari,beliau adalah Presiden pertama kita yaitu Presiden Soekarno

SAAT itu. Jumat (25/11), tim ekspedisi tengah melintas Kota Samarkand, Uzbekistan, dalam perjalanan menuju Turkmenistan. Langit sudah gelap.

Kompleks makam Imam Bukhari yang megah terlihat laksana istana raja. Penerangan di sana seadanya karena sudah tidak ada lagi peziarah yang berkunjung.

Imam Bukhari ialah seorang pengumpul hadis sahih Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam. Makamnya terletak di Samarkand, Uzbekistan. Tim Fas-tron Europe-Asia Metro TV Expedition 2011 mendapat kesempatan langka berziarah ke sana, bahkan langsung masuk ke ruang bawah tanah tempat jenazah Imam Bukhari bersemayam. Padahal biasanya para peziarah yang berasal dari berbagai suku bangsa hanya boleh masuk sampai ruang atas kompleks permakaman.

Kompleks serta-merta menjaditerang benderang kala perwakilan ekspedisi menemui pengelola makam dan mengungkapkan bahwa rombongan berasal dari Indonesia dan ingin berziarah.

Tak lama kemudian, Rahmatullo Sultonov, juru kunci makam yang berjilbab, hitam, keluar dari bangunan dan langsung mengarah ke ruang bawah tanah makam Imam Bukhari. Anggota ekspedisi diminta melepaskan sepatu sebelum masuk ruangan yang beralaskan karpet warna hijau tersebut.

Ruangan berdinding batu bata itu mampu menampung sekitar 10 orang, dilengkapi bangku untuk para peziarah. Makam ada di tengah ruang, berselimutkan kain hitam, bertulisan Arab warna kuning. Nuansa begitu khidmat saat berada di sana.

Setelah mengajak anggota tim ekspedisi untuk membaca beberapa surah pendek Alquran, Rahmatulloberkisah, kompleks permakaman Imam Bukhari tidak mungkin seindah dan semegah itu tanpa peran Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia.

Ketika Uzbekistan masih termasuk Uni Soviet, Soekarno-dalam sebuah kunjungan kenegaraan ke Uni Soviet pada 1959-pernah meminta petinggi Partai Komunis untuk mencarikan makam orang suci Islam yang sangat terkenal bernama Imam Bukhari.

Setelah tiga hari pencarian, makam Imam Bukhari ditemukan. Soekarno naik kereta dari Moskow ke Samarkand, tempat Bukhari meninggal dunia dan jenazahnya dimakamkan sekitar tahun 870.

“Beliau tiba pada malam hari dan langsung membaca Alquran sampai pagi hari, tidak tidur,” lanjut Rahmatullo seperti diterjemahkan Temur Mirzaev, rekanan Kedutaan Besar Republik Indonesia sekaligusdosen bahasa Indonesia di Institute of Oriental Studies, Tashkent.

Saat ditemukan, makam dalam kondisi tidak terurus. Soekarno meminta pemerintah Uni Soviet agar segera memperbaikinya. Ia bahkan sempat menawarkan agar makam dipindahkan ke Indonesia apabila Uni Soviet tidak mampu merawat dan menjaga makam tersebut. Emas seberat makam Imam Bukhari akan diberikan sebagai gantinya.
“Bangsa Indonesia sangat berjasa bagi keberlangsungan makam Imam Bukhari. Sebenarnya makam sudah tutup untuk pengunjung karena hari sudah malam. Tapi, karena orang Indonesia yang datang, makanya dibukakan,” tutur Temur. Juru kunci menutup ziarah dengan doa dan suasana pun mendadak hening. Dalam doanya, ia berharap perjalanan tim ekspedisi sukses dan selamat sampai tujuan.

Bung Karno Mencari Makam Imam Bukhori

DI Tashkent tidak ada jalan bernama Bung Karno. Tapi bukan berarti rakyat Uzbekistan ini tidak mengenal presiden pertama Republik Indonesia itu.

Tidak banyak yang tahu kalau Bung Karno adalah penemu makam Imam Al Bukhari, seorang perawi hadist Nabi Muhammad SAW. Begini ceritanya. Tahun 1961 pemimpin tertinggi Partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet Nikita Sergeyevich Khrushchev mengundang Bung Karno ke Moskow. Kayaknya Khrushchev hendak menunjukkan pada Amerika bahwa Indonesia berdiri di belakang Uni Soviet.

Karena bukan orang lugu, Bung Karno tidak mau begitu saja datang ke Moskow. Bung Karno tahu, kalau Indonesia terjebak, yang paling rugi dan menderita adalah rakyat. Bung Karno tidak mau membawa Indonesia ke dalam situasi yang tidak menguntungkan. Bung Karno juga tidak mau Indonesia dipermainkan oleh negara mana pun.

Bung Karno mengajukan syarat. Kira-kira begini kata Bung Karno, “Saya mau datang ke Moskow dengan satu syarat mutlak yang harus dipenuhi. Tidak boleh tidak.”

Khrushchev balik bertanya, “Apa syarat yang Paduka Presiden ajukan?”

Bung Karno menjawab, “Temukan makam Imam Al Bukhari. Saya sangat ingin menziarahinya.”

Jelas saja Khrushchev terheran-heran. Siapa lagi ini Imam Al Bukhari. Dasar orang Indonesia, ada-ada saja. Mungkin begitu sungutnya dalam hati. Tidak mau membuang waktu, Khrushchev segera memerintahkan pasukan elitnya untuk menemukan makam dimaksud. Entah berapa lama waktu yang dihabiskan anak buah Khrushchev untuk menemukan makam itu, yang jelas hasilnya nihil.

Khrushchev kembali menghubungi Bung Karno. “Maaf Paduka Presiden, kami tidak berhasil menemukan makam orang yang Paduka cari. Apa Anda berkenan mengganti syarat Anda?”

Bung Karno tersenyum sinis. “Kalau tidak ditemukan, ya udah, saya lebih baik tidak usah datang ke negara Anda.”

Kalimat singkat Bung Karno ini membuat kuping Khrushchev panas memerah. Khrushchev balik kanan, memerintahkan orang-orang nomor satunya langsung menangani masalah ini. Nah, akhirnya setelah bolak balik sana sini, serta mengumpulkan informasi dari orang-orang tua Muslim di sekitar Samarkand, anak buah Khrushchev menemukan makam Imam kelahiran Bukhara tahun 810 Masehi itu. Makamnya dalam kondisi rusak tak terawat.

Imam Al Bukhari yang memiliki pengaruh besar bagi umat Islam di Indonesia itu dimakamkan di Samarkand tahun 870 M. Presiden Soekarno meminta pemerintah Uni Soviet agar segera memperbaikinya. Ia bahkan sempat menawarkan agar makam dipindahkan ke Indonesia apabila Uni Soviet tidak mampu merawat dan menjaga makam tersebut. Emas seberat makam Imam Bukhari akan diberikan sebagai gantinya…

Khrushchev memerintahkan agar makam itu dibersihkan dan dipugar secantik mungkin.

Selesai renovasi, Khrushchev menghubungi Bung Karno kembali. Intinya, misi pencarian makam Imam Al Bukhari berhasil. Sambil tersenyum Bung Karno mengatakan, “Baik, saya datang ke negara Anda.” Setelah dari Moskow, tanggal 12 Juni 1961 Bung Karno tiba di Samarkand. Sehari sebelumnya puluhan ribu orang menyambut kehadiran Pemimpin Besar Revolusi Indonesia ini di Kota Tashkent. ( Habib Ahmad bin Faqih Ba'Syaiban )

http://www.facebook.com/pages/SYAFAAH-dan-BAROKAH/236235503128014http://www.facebook.com/Kisah.Para.DatudanUlama.Kalimantan http://www.facebook.com/


Hasil Bahts Masail PWNU Jatim 1982 di PP. Sukorejo Asembagus Situbondo

Pada umumnya seseorang akan yang berbicara di podium atau memberikan sambutan, mengawali pembicaraannya dengan basmalah sebelum mengucap salam.

Pertanyaan:
Mana yang lebih sunat mendahulukan basmalallah sebelum salam ataukah sebaliknya?

Jawaban:
Tidak sunah membaca basmalah sebelum salam, karena salam itu sebagian dari perkara yang tidak dijalankan dengan membaca bismillah. Dan jika membaca bismillah, maka putuslah kesunatan salam.

Dasar Pengambilan Hukum: 
1. Al-Adzkar An-Nawawi, Hlm. 168

(فَصْلٌ) السُّنَّةُ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ قَبْلَ كُلِّ كَلاَمٍ ِلأَنَّهُ تَحِيَّةٌ يَبْدَأُ بِهِ فَيَفُوْتُ بِاْلإِفْتِتَاحِ بِالْكَلاَمِ كَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ.

"(Fasal) yang sunah orang salam itu mulainya sebelum bicara apa-apa …s/d …. Salam adalah sebelum berbicara. Karena salam adalah penghormatan yang dibuat permulaan. Sunahnya tidak ada jika sudah dimulai dengan bicara dahulu. Seperti sunahnya tahuyatul masjid, sebelum melakukan apa-apa".

Wallaahu A'lamu Bish-showaab


Hasil Bahts Masail PWNU Jatim 2009 di PP. Al Munawariyah Malang

Deskripsi:
Masyarakat muslimah dalam memakai mukena ketika sholat baik yang sepotong (terusan) maupun yang dua potong, pada umumnya masih ada yang nampak (belum tertutup) yaitu pada bagian bawah dagu, pergelangan tangan (saat diangkat), betis bagi wanita yang memakai rok atau kaos kaki (ketika sujud).(PCNU Surabaya)

Pertanyaan:
a. Sudah cukupkah menutup aurat bagi muslimah sebagaimana digambarkan pada deskripsi diatas ?

Jawaban :
Menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i, shalat muslimah dengan menutup aurat sebagaimana dimaksud, hukumnya tidak sah. Akan tetapi dalam masalah terihatnya pergelangan tangan dari arah bawah saat tangan lurus kebawah terdapat khilaf: Menurut kitab Al-I’ab dan pendapat imam Romli hukum shalatnya diangap sah. Demikian juga dalam masalah terlihatnya betis, menurut sebagian ulama juga dianggap sah selama tidak terlihat dari arah samping.

Selain itu menurut pendapat madzhab Hanafi, terlihatnya bagian anggota tubuh yang wajib ditutup, apabila tidak melebihi seperempat, maka tidak membatalkan shalat. Bahkan menurut salah satu pendapat dalam madzhab Maliki, hukum menutup aurot dalam shalat adalah sunnat bukan tergolong syarat sahnya shalat.

Oleh karenanya, bagi wanita muslimah yang menggunakan mukena dengan resiko terlihatnya aurat sebagaimana dimaksud dalam pertanyaan, diharapkan merubah cara pemakiannya sehingga dapat menutup semua auratnya atau dalam kondisi terpaksa dapat mengikuti beberapa pendapat sebagaimana penjelasan di atas.

Dasar Pengambilan Hukum:

1. شرح سلم التوفيق 27 للشيخ النواوي البنتني -دار احياء الكتب العربية-

2. والستر بما يستربه لون البشرة لجميع بدن الحرة الا الوجه والكفين وستر ما بين السرة والركبة للذكر والامة من كل الجوانب لاالأسفل قوله لا الأسفل اي الذيل وان رؤي ذالك بالفعل حال سجوده افاده عطية.

3. هامش الجمل ج:1ص:409للشيخ السليمان الجمل –دار الفكر-

4. (و ) ثالثها ( ستر عورة ) ولو خاليا في ظلمة ( بما ) أي : بجرم ( يمنع إدراك لونها ) من أعلى ( وجوانب ) لها لا من أسفلها فلو رئيت من ذيله كأن كان بعلو والرائي أسفل لم يضر ذلك.

5. (قوله لا من أسفلها ) أي : ولو كان المصلي امرأة أو خنثى ا هـ شرح م ر . ( قوله فلو رئيت من ذيله ) أي رآها غيره ولو بالفعل أما لو رآها هو كأن طال عنقه فإنها تبطل ا هـ شيخنا

6. حاشية الجمل ج:1ص:409 للشيخ السليمان الجمل –دار الفكر-

7. وفي البرماوي ما نصه قوله فلو رئيت من ذيله أي : رئيت في قيام أو ركوع أو سجود سواء رآها هو أو غيره لا لتقلص ثوبه بل لنحو جمع ذيله على عقبيه ا هـ برماوي ومثله ق ل على الجلال ومثلهما ع ش على م ر.

قر ة العين بفتاوى الشيخ إسماعيل الزين ص: 59. ترتيب وقديم ممد نور الدين مربو بنجر المكى . 

فقد قدم إلي بعض الإخوان سؤالا هذا نصه : قد قرروا أن عورة الحرة في الصلاة جميع بدنها ما سوى الوجه والكفين ومعلوم أن حد الوجه طولا ما بين منابت الشعر إلى منتهى اللحيين وعرضا من الأذن إلى الأذن وقد وقع كثيرا انكشاف ما تحت الذقن من بدن المرأة حال صلاتها وطوافها فهل تعذر في ذلك لكونه من أسفل أم يضر ذلك أفتونا رحمكم الله فالمسألة واقعة حال فأقول وبالله التوفيق :انكشاف ما تحت الذقن من بدن المرأة في حال الصلاة والطواف يضر فيكون مبطلا للصلاة والطواف وذلك لأنه داخل في عموم كلامهم فيما يجب ستره فقولهم عورة الحرة في الصلاة جميع بدنها إلا الوجه والكفين يفيد ذلك لأمور منها الاستثناء فإنه معيار العموم ومنها قولهم يجب عليها أن تستر جزأ من الوجه من جميع الجوانب ليتحقق به كمال الستر لما عداه فظهر بذلك أن كشف ذلك يضر ويعتبر مبطلا للصلاة ومثلها الطواف هذا مذهب سادتنا الشافعية وأما عند غيرهم كالسادة الحنفية والسادة المالكية فإن ما تحت الذقن ونحوه لا يعد كشفه من المرأة مبطلا للصلاة كما يعلم ذلك من عبارات كتب مذاهبهم وحينئذ لو وقع ذلك من العاميات اللاتي لم يعرفن كيفية التقيد بمذهب الشافعية فإن صلاتهن صحيحة لان العامي لا مذهب له وحتى من العارفات بمذهب الشافعي إذا أردن تقليد غير الشافعي ممن يرى ذلك فإن صلا تهن تكون صحيحة لأن أهل المذاهب الأربعة كلهم على هدى فجزاهم الله عنا خير الجزاء وبذلك يعلم أن هذه المسألة التي وقع السؤال عنها هي في موضع خلاف بين ائمة المذاهب وليست من المجمع عليه والحمد لله الذي جعل في الأمور سعة

8. بغية المسترشدين 51 للسيد عبد الرحمن بن محمد بن حسين بن عمر –الهداية سورابيا-
9. (مسألة: ي): قولهم: يشترط الستر من أعلاه وجوانبه لا من أسفله الضمير فيها عائد إما على الساتر أو المصلي، والمراد بأعلاه على كلا المعنيين في حق الرجل السرة ومحاذيها، وبأسفله الركبتان ومحاذيهما، وبجوانبه ما بين ذلك، وفي حق المرأة بأعلاه ما فوق رأسها ومنكبيها وسائر جوانب وجهها، وبأسفله ما تحت قدميها، وبجوانبه ما بين ذلك، وحينئذ لو رؤي صدر المرأة من تحت الخمار لتجافيه عن القميص عند نحو الركوع، أو اتسع الكمّ بحيث ترى منه العورة بطلت صلاتها، فمن توهم أن ذلك من الأسفل فقد أخطأ، لأن المراد بالأسفل أسفل الثوب الذي عم العورة، أما ما ستر جانبها الأعلى فأسفله من جانب العورة بلا شك كما قررناه اهـ. قلت: قال في حاشية الكردي وفي الإمداد: ويتردد النظر في رؤية ذراع المرأة من كمها مع إرسال يدها، استقرب في الإيعاب عدم الضرر، بخلاف ما لو ارتفعت اليد، ويوافقه في ما في فتاوى (م ر) وخالفه في التحفة قال: لأن هذا رؤية من الجوانب وهي تضر مطلقاً اهـ

10. اعانة الطالبين ج:1 ص: 113 للشيخ أبي بكر محمد شطا الدمياطي
11. (قوله: ويجب الستر من الاعلى إلخ) هذا في غير القدم بالنسبة للحرة، أما هي فيجب سترها حتى من أسفلها، إذ باطن القدم عورة كما علمت.نعم، يكفي ستره بالارض لكونها تمنع إدراكه، فلا تكلف لبس نحو خف.فلو رؤي في حال سجودها، أو وقفت على نحو سرير مخرق بحيث يظهر من أخراقه، ضر ذلك، فتنبه له.

12. حاشية الجمل ج: 1ص: 411 للسليمان الجمل. دار الفكر

13. (قوله غير وجه وكفين ) شمل ما لو كان الثوب ساترا لجميع القدمين وليس مماسا لباطن القدم فيكفي الستر به لكون الأرض تمنع إدراك باطن القدم فلا تكلف لبس نحو خف خلافا لما توهمه بعض ضعفة الطلبة لكن يجب تحرزها في سجودها وركوعها عن ارتفاع الثوب عن باطن القدم فإنه مبطل فتنبه له ا هـ ع ش على م ر وهذه عورتها في الصلاة .

حاشية البجيرمي على الخطيب ج 1 ص452
وَلَوْ كَانَ الْمُصَلِّي امْرَأَةً فَلَوْ رُئِيَتْ عَوْرَتُهُ مِنْ طَوْقِ قَمِيصِهِ لَسَعَتِهِ فِي رُكُوعِهِ أَوْ غَيْرِهِ ضَرَّ . ( فَلَوْ رُئِيَتْ ) أَيْ كَانَتْ بِحَيْثُ تُرَى وَإِنْ لَمْ تُرَ بِالْفِعْلِ ا هـ ا ج , وَعِبَارَةُ ق ل عَلَى التَّحْرِيرِ : فَلَوْ كَانَتْ بِحَيْثُ تُرَى مِنْ طَوْقِهِ مَثَلًا لَسِعَتِهِ بَطَلَتْ عِنْدَ إمْكَانِ الرُّؤْيَةِ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ , وَإِنْ لَمْ تُرَ بِالْفِعْلِ كَمَا لَوْ كَانَ ذَيْلُهُ قَصِيرًا بِحَيْثُ لَوْ رَكَعَ يَرْتَفِعُ عَنْ بَعْضِ الْعَوْرَةِ , فَتَبْطُلُ إذَا لَمْ يَتَدَارَكْهُ بِالسَّتْرِ قَبْلَ رُكُوعِهِ وَلَا يَضُرُّ رُؤْيَتُهَا مِنْ أَسْفَلَ كَأَنْ صَلَّى فِي عُلُوٍّ وَتَحْتَهُ مِنْ يَرَى عَوْرَتَهُ مِنْ ذَيْلِهِ ا هـ

نصب الراية ج 1 ص 416
( وَبَدَنُ الْحُرَّةِ كُلُّهَا عَوْرَةٌ , إلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا ) لِقَوْلِهِ عليه الصلاة والسلام { الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ مَسْتُورَةٌ } وَاسْتِثْنَاءُ الْعُضْوَيْنِ لِلِابْتِلَاءِ بِإِبْدَائِهِمَا . قَالَ رضي الله عنه : وَهَذَا تَنْصِيصٌ عَلَى أَنَّ الْقَدَمَ عَوْرَةٌ , وَيُرْوَى أَنَّهَا لَيْسَتْ بِعَوْرَةٍ وَهُوَ الْأَصَحُّ . ( فَإِنْ صَلَّتْ وَرُبْعُ سَاقِهَا أَوْ ثُلُثُهُ مَكْشُوفٌ تُعِيدُ الصَّلَاةَ ) عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٍ رحمهما الله ( وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ الرُّبْعِ لَا تُعِيدُ , وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ رحمه الله : لَا تُعِيدُ إنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ النِّصْفِ ) لِأَنَّ الشَّيْءَ إنَّمَا يُوصَفُ بِالْكَثْرَةِ إذَا كَانَ مَا يُقَابِلُهُ أَقَلَّ مِنْهُ , إذْ هُمَا مِنْ أَسْمَاءِ الْمُقَابَلَةِ ( وَفِي النِّصْفِ عَنْهُ رِوَايَتَانِ ) فَاعْتَبَرَ الْخُرُوجَ عَنْ حَدِّ الْقِلَّةِ أَوْ عَدَمَ الدُّخُولِ فِي ضِدِّهِ , وَلَهُمَا أَنَّ الرُّبْعَ يَحْكِي حِكَايَةَ الْكَمَالِ كَمَا فِي مَسْحِ الرَّأْسِ وَالْحَلْقِ فِي الْإِحْرَامِ , وَمَنْ رَأَى وَجْهَ غَيْرِهِ يُخْبِرُ عَنْ رُؤْيَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَرَ إلَّا أَحَدَ جَوَانِبِهِ الْأَرْبَعَةِ . ( وَالشَّعْرُ وَالْبَطْنُ وَالْفَخِذُ كَذَلِكَ ) يَعْنِي عَلَى هَذَا الِاخْتِلَافِ , لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ عُضْوٌ عَلَى حِدَةٍ , وَالْمُرَادُ بِهِ النَّازِلُ مِنْ الرَّأْسِ , هُوَ الصَّحِيحُ , وَإِنَّمَا وُضِعَ غُسْلُهُ فِي الْجَنَابَةِ لِمَكَانِ الْحَرَجِ , وَالْعَوْرَةُ الْغَلِيظَةُ عَلَى هَذَا الِاخْتِلَافِ , وَالذَّكَرُ يُعْتَبَرُ بِانْفِرَادِهِ , وَكَذَا الْأُنْثَيَانِ , وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ دُونَ الضَّمِّ .

منح الجليل ج 1 ص 219-221
(فَصْلٌ ) هَلْ سَتْرُ عَوْرَتِهِ بِكَثِيفٍ وَإِنْ بِإِعَارَةٍ , أَوْ طَلَبٍ , أَوْ نَجَسٍ وَحْدَهُ , كَحَرِيرٍ , وَهُوَ مُقَدَّمٌ شَرْطٌ إنْ ذَكَرَ وَقَدَرَ , وَإِنْ بِخَلْوَةٍ لِلصَّلَاةِ ؟ خِلَافٌ .

( فَصْلٌ فِي سَتْرِ الْعَوْرَةِ ) ( هَلْ سَتْرُ ) بِفَتْحِ السِّينِ أَيْ تَغْطِيَةُ ( عَوْرَتِهِ ) أَيْ مَرِيدِ الصَّلَاةِ الْبَالِغِ كُلِّهَا إنْ قَدَرَ عَلَيْهِ وَبَعْضِهَا إنْ قَدَرَ عَلَيْهِ فَقَطْ وَالصَّبِيُّ إنْ صَلَّى عُرْيَانًا يُعِيدُ فِي الْوَقْتِ وَصِلَةُ سَتْرُ ( بِ ) سَاتِرٍ ( كَثِيفٍ ) أَيْ صَفِيقٍ لَا يَظْهَرُ مِنْهُ اللَّوْنُ بِلَا تَأَمُّلٍ بِأَنْ كَانَ لَا يَظْهَرُ اللَّوْنُ مِنْهُ دَائِمًا أَوْ يَظْهَرُ مِنْهُ بَعْدَ التَّأَمُّلِ لَكِنَّ السَّتْرَ بِهَذَا مَكْرُوهٌ وَتُعَادُ الصَّلَاةُ فِيهِ فِي الْوَقْتِ وَاحْتَرَزَ بِهِ عَنْ الشَّفَّافِ الَّذِي يَظْهَرُ مِنْهُ بِلَا تَأَمُّلٍ فَالسَّتْرُ بِهِ مُحَرَّمٌ وَتُعَادُ الصَّلَاةُ فِيهِ أَبَدًا . هَذَا مَا اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ كَلَامُ عج وَارْتَضَاهُ الْبُنَانِيُّ وَهُوَ الظَّاهِرُ لَا مَا قَالَهُ الرَّمَاصِيُّ مِنْ أَنَّ السَّتْرَ بِمُبْدِيهِ بِتَأَمُّلٍ مُحَرَّمٌ وَإِعَادَةُ الصَّلَاةِ فِيهِ أَبَدِيَّةٌ وَلَا مَا نَقَلَهُ الْعَدَوِيُّ عَنْ عبق وَاعْتَمَدَهُ مِنْ صِحَّةِ الصَّلَاةِ فِي الشَّفَّافِ وَإِعَادَتِهَا فِي الْوَقْتِ إنْ كَانَ السَّتْرُ بِمِلْكِ الْكَثِيفِ الطَّاهِرِ بَلْ ( وَإِنْ ) كَانَ ( بِإِعَارَةٍ ) لِلْكَثِيفِ مِنْ مَالِكِهِ لِمُرِيدِ الصَّلَاةِ بِلَا طَلَبٍ ( أَوْ ) كَانَتْ بِ ( طَلَبٍ ) مِنْ مُرِيدِ الصَّلَاةِ إنْ تَحَقَّقَ أَوْ ظَنَّ الْإِعَارَةَ أَوْ شَكَّ فِيهَا لَا إنْ تَوَهَّمَهَا . ( أَوْ ) كَانَ بِ ( نَجِسٍ وَحْدَهُ ) أَيْ لَمْ يَجِدْ غَيْرَهُ كَجِلْدِ مَيْتَةٍ أَوْ ثَوْبٍ مُتَنَجِّسٍ بِغَيْرِ مَعْفُوٍّ عَنْهُ وَشَبَّهَ فِي شَرْطِيَّةِ السَّتْرِ فَقَالَ ( كَحَرِيرٍ ) لَمْ يَجِدْ غَيْرَهُ الذَّكَرُ الْبَالِغُ ( وَهُوَ ) أَيْ الْحَرِيرُ ( مُقَدَّمٌ ) بِضَمِّ الْمِيمِ وَفَتْحِ الْقَافِ وَالدَّالِ مُشَدَّدَةً فِي سَتْرِ الْعَوْرَةِ بِهِ عَلَى النَّجَسِ عِنْدَ اجْتِمَاعِهِمَا وَعَدَمِ غَيْرِهِمَا لِأَنَّ الْحَرِيرَ لَيْسَ فِيهِ مَا يُنَافِي شَرْطَ صِحَّةِ الصَّلَاةِ بِخِلَافِ النَّجِسِ هَذَا قَوْلُ ابْنِ الْقَاسِمِ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ وَقَالَ أَصْبَغُ النَّجِسُ مُقَدَّمٌ عَلَى الْحَرِيرِ لِمَنْعِ لُبْسِ الْحَرِيرِ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا وَالنَّجِسُ يُمْنَعُ لُبْسُهُ فِيهَا فَقَطْ وَالظَّاهِرُ تَقْدِيمُ عَارِضِ النَّجَاسَةِ عَلَى نَجِسِ الذَّاتِ عِنْدَ عَدَمِ غَيْرِهِمَا . وَخَبَرُ سَتْرُ ( شَرْطٌ إنْ ذَكَرَ ) أَيْ تَذَكَّرَ ( وَقَدَرَ ) أَيْ مُرِيدُ الصَّلَاةِ الْبَالِغُ فَإِنْ نَسِيَ أَوْ عَجَزَ فَلَيْسَ سَتْرُ عَوْرَتِهِ شَرْطًا اتِّفَاقًا . الرَّمَاصِيُّ تَبِعَ الْمُصَنِّفُ ابْنَ عَطَاءِ اللَّهِ وَغَيْرِهِ لَمْ يُقَيِّدْ بِالذَّكَرِ وَهُوَ الظَّاهِرُ فَيُعِيدُ أَبَدًا مَنْ صَلَّى عُرْيَانًا نَاسِيًا قَادِرًا وَقَدْ صَرَّحَ الْجُزُولِيُّ بِأَنَّهُ شَرْطٌ مَعَ الْقُدْرَةِ ذَاكِرًا كَانَ أَوْ نَاسِيًا وَهُوَ الْجَارِي عَلَى قَوَاعِدِ الْمَذْهَبِ الْبُنَانِيُّ فِي الْحَطَّابِ عَنْ الطِّرَازِ مَا نَصُّهُ قَالَ الْقَاضِي عَبْدُ الْوَهَّابِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ سَتْرُ الْعَوْرَةِ مِنْ شَرَائِطِ الصَّلَاةِ مَعَ الذِّكْرِ وَالْقُدْرَةِ أَوْ هُوَ فَرْضٌ وَلَيْسَ بِشَرْطِ صِحَّةٍ حَتَّى إذَا صَلَّى مَكْشُوفًا مَعَ الْعِلْمِ وَالْقُدْرَةِ سَقَطَ عَنْهُ الْفَرْضُ وَإِنْ كَانَ عَاصِيًا آثِمًا ا هـ . فَتَعَقَّبَ مُصْطَفَى قُصُورَ إنْ لَمْ يَكُنْ بِخَلْوَةٍ بَلْ ( وَإِنْ ) كَانَ ( بِخَلْوَةٍ ) وَتَنَازَعَ سَتْرٌ وَشَرْطٌ ( لِ ) صِحَّةِ ( الصَّلَاةِ ) فَتَبْطُلُ بِتَرْكِهِ مَعَ الذِّكْرِ وَالْقُدْرَةِ أَوْ وَاجِبٌ غَيْرُ شَرْطٍ لَهَا وَلَيْسَ مُقَيَّدًا بِالذِّكْرِ وَالْقُدْرَةِ فَتَصِحُّ صَلَاةُ تَارِكِهِ ذَاكِرًا قَادِرًا وَيَأْثَمُ وَيُعِيدُهَا فِي الْوَقْتِ كَالنَّاسِي أَوْ الْعَاجِزِ بِلَا إثْمٍ فِيهِ ( خِلَافٌ ) شَهَرَ الْأَوَّلَ ابْنُ عَطَاءِ اللَّهِ قَائِلًا هُوَ الْمَعْرُوفُ مِنْ الْمَذْهَبِ وَالثَّانِي ابْنُ الْعَرَبِيِّ لَكِنَّ الرَّاجِحَ الْأَوَّلُ وَقَالَ إسْمَاعِيلُ وَابْنُ بُكَيْر وَالْأَبْهَرِيُّ سُنَّةٌ لَهَا وَقَالَ اللَّخْمِيُّ مَنْدُوبٌ لَهَا وَلَمْ يُشْهَرَا .

إنارة الدجى ص 92
قلت والمعول عند المالكية في العورة المطلوب سترها عن الأعين إلى أن قال وأن العورة عندهم بالنسبة للصلاة ولو في خلوة إما مغلظة أو مخففة إلى أن قال...والمغلظة من الحرة بطنها وساقاها وما بينهما وما حاذى ذلك من خلفها والمخففة منها صدرها وما والاه من خلفها وأطرافها كظهور قدميها وذراعيها وشعرها وكفيها وما فوق منحرها فتعيد لكشف شيء من المغلظة وجوبا أبدا إلا الساق فتعيد لكشفه ندبا في الوقت على الظاهر خلافا للزرقاني القائل بأنها تعيد في الساق أبدا وجوبا وتعيد لكشف شيء من المخففة ندبا في الوقت وأما كوعها فليس من عوراتها وبطون قدميها وإن كان من عورتها لا تعيد لهما.

Berikut ilustrasi penggunaan mukena potongan dan terusan sesuai hasil bahts masail forum musyawarah pondok pesantren putri se jawa timur tahun 2003 di PP. As. Sa’idiyah Kediri,

Wallaahu A'lamu Bish-showaab