/* */

Senin, 01 Juli 2013



Deskripsi:
Di dalam literatur fiqh dikenal istilah haqq al-ijbaar atau hak paksa seorang wali (ayah atau kakek) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa perlu izin dari pihak anak. Jika ditilik dari hak asasi manusia, aturan ini praktis bernuansa diskriminatif dan bertentangan dengan semangat kebebasan yang Islam datang untuk menghapus segala bentuk penindasan dan tradisi-tradisi zaman Siti Nurbaya

Pertanyaan:
Bagaimana ketegasan pengertian haqq al-ijbaar plus batasan dan dalilnya?

Abstraksi:
Dalam Islam memang ada hadits yang memberikan legitimasi kepada orang tua (wali) untuk menjodohkan puteri gadisnya tanpa harus melalui kesepakatannya terlebih dahulu. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw. bersabda;

الثيب ﺃحق بنفسها من وليها والبكر يزوجها ﺃبوها
“Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkan gadis yang menikahkan adalah bapaknya”. (HR. Ad-Daruquthny).

Redaksi hadits ini menegaskan bahwa hak nikah seorang wanita gadis berada di tangan ayahnya (wali mujbir). Legitimasi syara’ ini bukanlah bentuk dari tindakan memaksakan kehendak menentukan pasangan hidup kepada wanita gadis, melainkan justeru bukti bahwa Islam hendak mempersembahkan yang terbaik buat wanita gadis yang nota bene tidak memiliki cukup pengalaman dalam menentukan dan memilih pasangan hidup yang ideal. Maka sangat beralasan jika syara’ memberikan legitimasi kepada ayah memiliki prerogatif (ijbaar) menjodohkan puteri gadisnya, karena hak paksa yang didasari rasa kasih sayang yang dimiliki seorang ayah bukanlah pemaksaan melainkan kemaslahatan. Lantaran itulah ulama dalam merumuskan hak ijbaar menikahkan puteri gadis hanya dimiliki oleh seorang ayah dengan ketentuan sebagai berikut;
1. Tidak ada kebencian dan permusuhan nyata antara ayah dan anak gadisnya;
2. Tidak ada kebencian dan permusuhan nyata antara pihak suami dan gadis;
3. Menjodohkan dengan laki-laki yang selevel (kufu’) dengan anak gadisnya;
4. Memilih calon suami yang sanggup memenuhi kewajiban membayar mahar;
5. Menikahkan dengan mahar standar (mitsli).
6. Maskawin harus dari mata uang negara yang berlaku; dan
7. Mahar dibayar dengan kontan.

Dari ketentuan syarat-syarat di atas, menurut Syafi`iyyah, untuk empat syarat pertama, apabila tidak dapat terpenuhi salah satunya maka prosesi akad pernikahannya dianggap tidak sah kecuali sebelumnya ada izin dan kerelaan dari pihak gadis. Sedangkan tiga syarat terakhir, apabila tidak terpenuhi tidak sampai mempengaruhi keabsahan pernikahan. (Referensi selengkapnya lihat Muhammad bin Ahmad bin Asy-Syarbiny aL-Khathib, Mughny aL-Muhtaj, vol. IV hal. 248 Daar aL-Kotob aL-Ilmiyyah)

Referensi:

المجموع شرح المهذب الجزء السادس عشر ؃ :١٦٥ 
المذاهب ا ﻷ ربعة الجزء الرابع ؃ :٣٥
الموسوعة الفقهية الجزء الثامن ؃: ١٨٠
الموسوعة الفقهية الجزء الرابع والثلاثون ؃: ٢٦٤
الباجوري الجزء الثاني ؃: ١٠٩
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

MANHAJ SOLUSI UMAT: Jawaban Problematika Kekinian, Cetakan I, hal. 157

Posting Komentar