/* */

Selasa, 02 Juli 2013





Deskripsi:
Manusia adalah makhluk sosial yang mendambakan hidup damai dan harmonis, sehingga adalah normal apabila manusia mengalami ketertarikan dengan lawan jenisnya. Motivasi untuk bisa mengenal karakter, menyamakan pandangan hidup dan alasan lainnya, seringkali dijadikan dalih pembenaran untuk melakukan pacaran. Bahkan beberapa pemikir ada yang sedikit peduli dengan norma-etik sosial, sehingga merumuskan konsep “pacaran Islami”

Pertanyaan:
Bagaimana konsep Islam mengatur hubungan sepasang remaja yang sedang jatuh cinta?

Abstraksi:

زين للناس حب الشهوات من النساء

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita”. (Ali Imraan: 14)

Redaksi ayat di atas tegas menjelaskan bahwa dalam diri manusia telah ditanam benih-benih cinta yang sewaktu-waktu bisa tumbuh ketika menemukan kecocokan jiwa. Cinta dalam Islam tidak dilarang, karena ia berada di luar wilayah kendali manusia. Bahkan cinta merupakan anugrah yang harus disyukuri dengan mengekspresikan dan membinanya sesuai norma-etik syariat. Islam dengan universalitas ajarannya telah mengatur seluruh hubungan manusia baik vertikal maupun horizontal, tak terkecuali hubungan sepasang anak manusia yang dirundung asmara. Istilah pacaran secara harfiah tidak dikenal dalam Islam, karena konotasi dari kata ini lebih mengarah kepada hubungan pra-nikah yang lebih intim dari sekedar media saling mengenal. Islam menciptakan aturan yang sangat indah hubungan lawan jenis yang sedang jatuh cinta, yaitu dengan konsep khithbah. Khithbah adalah sebuah konsep ‘pacaran berpahala’ dari dispensasi agama sebagai media legal hubungan lawan jenis untuk saling mengenal sebelum memutuskan menjalin hubungam suami-isteri. Konsep hubungan ini sangat dianjurkan bagi seseorang yang telah menaruh hati kepada lawan jenis dan bermaksud untuk menikah. Akan tetapi hubungan ini harus tetap terbingkai dalam nilai-nilai kesalehan, sehingga kedekatan hubungan yang bisa menimbulkan potensi fitnah sudah di luar konsep ini.

Nikah dalam Islam bukanlah sekedar untuk singgahan hasrat seksual, tetapi merupakan peristiwa sakral yang mempertemukan dua kategoris berbeda dalam satu bahtera tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk bersama membina dan mengarungi mahligai cinta menyambung estafet kehidupan. Nikah merupakan ibadah yang dianjurkan agama demi menjalin kebahagiaan bersama dalam kehidupan bahkan sampai hidup lagi. Sedemikian sakralnya makna pernikahan, maka khithbah merupakan konsep urgen untuk menjembatani kemungkinan kekecewaan kedua belah pihak sebelum ikrar nikah. Lantaran proporsi fundamental khithbah hanya sebagai tahap saling mengenali, maka legalitas kedekatan hubungan dalam konsep ini hanya sebatas memandang wajah dan telapak tangan, karena rahasia-rahasia fisik dan kepribadian seseorang sudah bisa dimonitor dan disensor melalui aura wajah dan telapak tangan. Lebih dari itu, dalam ‘pacaran berpahala’ ini, juga diperbolehkan duduk dan berbincang-bincang bersama sepanjang tidak sampai bernuansa kholwah (berduaan), seperti disertai pihak ketiga yang bisa melindungi dari fitnah, karena makhthuubah (baca: ‘pacar’) bagaimanapun masih berstatus ajnabiyyah (wanita lain) yang sedikitpun belum berlaku hukum suami isteri. Jadi, konsep Islam dalam mengatur hubungan sepasang remaja yang sedang jatuh cinta bukan dengan hubungan tanpa batas atau ‘pacaran islami’ yang cukup dimulai dengan basmalah dan diakhiri dengan hamdalah, melainkan hubungan yang dibingkai dengan nilai-nilai pekerti luhur dan dihiasi fitrah keindahan (baca: kesalehan).

Referensi:





حاشية الجمل الجزء الرابع ؃: ١٢٠ 
فتح المعين الجزء الثالث ؃: ٢٩٨-٢٩٩
الفقه اﻹسلامى الجزء التاسع ؃: ٦٥٠٧ 
ﺇعانة الطالبين الجزء الثالث ؃: ٢٩٩
الباجوري الجزء الثانى ؃: ١٠١
تفسير القرطبي الجزء السادس عشر ؃: ٣٤٠-٣٤١

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

MANHAJ SOLUSI UMAT: Jawaban Problematika Kekinian, Cetakan I, hal. 154

Senin, 01 Juli 2013



Deskripsi:
Di dalam literatur fiqh dikenal istilah haqq al-ijbaar atau hak paksa seorang wali (ayah atau kakek) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa perlu izin dari pihak anak. Jika ditilik dari hak asasi manusia, aturan ini praktis bernuansa diskriminatif dan bertentangan dengan semangat kebebasan yang Islam datang untuk menghapus segala bentuk penindasan dan tradisi-tradisi zaman Siti Nurbaya

Pertanyaan:
Bagaimana ketegasan pengertian haqq al-ijbaar plus batasan dan dalilnya?

Abstraksi:
Dalam Islam memang ada hadits yang memberikan legitimasi kepada orang tua (wali) untuk menjodohkan puteri gadisnya tanpa harus melalui kesepakatannya terlebih dahulu. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw. bersabda;

الثيب ﺃحق بنفسها من وليها والبكر يزوجها ﺃبوها
“Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkan gadis yang menikahkan adalah bapaknya”. (HR. Ad-Daruquthny).

Redaksi hadits ini menegaskan bahwa hak nikah seorang wanita gadis berada di tangan ayahnya (wali mujbir). Legitimasi syara’ ini bukanlah bentuk dari tindakan memaksakan kehendak menentukan pasangan hidup kepada wanita gadis, melainkan justeru bukti bahwa Islam hendak mempersembahkan yang terbaik buat wanita gadis yang nota bene tidak memiliki cukup pengalaman dalam menentukan dan memilih pasangan hidup yang ideal. Maka sangat beralasan jika syara’ memberikan legitimasi kepada ayah memiliki prerogatif (ijbaar) menjodohkan puteri gadisnya, karena hak paksa yang didasari rasa kasih sayang yang dimiliki seorang ayah bukanlah pemaksaan melainkan kemaslahatan. Lantaran itulah ulama dalam merumuskan hak ijbaar menikahkan puteri gadis hanya dimiliki oleh seorang ayah dengan ketentuan sebagai berikut;
1. Tidak ada kebencian dan permusuhan nyata antara ayah dan anak gadisnya;
2. Tidak ada kebencian dan permusuhan nyata antara pihak suami dan gadis;
3. Menjodohkan dengan laki-laki yang selevel (kufu’) dengan anak gadisnya;
4. Memilih calon suami yang sanggup memenuhi kewajiban membayar mahar;
5. Menikahkan dengan mahar standar (mitsli).
6. Maskawin harus dari mata uang negara yang berlaku; dan
7. Mahar dibayar dengan kontan.

Dari ketentuan syarat-syarat di atas, menurut Syafi`iyyah, untuk empat syarat pertama, apabila tidak dapat terpenuhi salah satunya maka prosesi akad pernikahannya dianggap tidak sah kecuali sebelumnya ada izin dan kerelaan dari pihak gadis. Sedangkan tiga syarat terakhir, apabila tidak terpenuhi tidak sampai mempengaruhi keabsahan pernikahan. (Referensi selengkapnya lihat Muhammad bin Ahmad bin Asy-Syarbiny aL-Khathib, Mughny aL-Muhtaj, vol. IV hal. 248 Daar aL-Kotob aL-Ilmiyyah)

Referensi:

المجموع شرح المهذب الجزء السادس عشر ؃ :١٦٥ 
المذاهب ا ﻷ ربعة الجزء الرابع ؃ :٣٥
الموسوعة الفقهية الجزء الثامن ؃: ١٨٠
الموسوعة الفقهية الجزء الرابع والثلاثون ؃: ٢٦٤
الباجوري الجزء الثاني ؃: ١٠٩
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

MANHAJ SOLUSI UMAT: Jawaban Problematika Kekinian, Cetakan I, hal. 157