/* */

Rabu, 22 Mei 2013



Majalah Zaman baru-baru ini menampilkan sejumlah besar sajak anak-anak dalam lampiran khusus. Penulisnya adalah anak-anak di bawah umur 15 tahun. Sajak-sajak itu selam ini dimuat dalam rubrik ‘Kebun Kita’ majalah tersebut, tentu saja setelah diseleksi.

Secara keseluruhan, puisi yang terkumpul dalam tiga belas halaman itu menunjukkan kuatnya apresiasi sastra anak-anak kita dewasa ini, dan membuktikan tidak sia-sianya pelajaran Bahasa Indonesia di semua sekolah, betapa banyak kekurangan sekalipun.

Mungkin kekurangan terbesar ada pada segi perbendaharaan kata yang sangat miskin, akibat logis dari kecenderungan orang dewasa yang sangat kuat untuk menggunakan istilah dari bahasa asing atau bahasa daerah. Namun kekurangan itu diimbangi oleh kemampuan cukup besar untuk mengolah kata-kata sehingga memiliiki nuansa baru. Juga besarnya keharuan yang mendorong para penyair cilik kita untuk menciptakan puisi yang menyentuh rasa, bahkan sangat mengharukan.

Dalam pendahuluan, redaktur Zaman Jimmy Supangkat menyidik besarnya rasa murung yang ada dalam karya-karya tulis itu, terutama dalam sajak berbentuk doa. Jenis ini cukup banyak, 56 buah, namun banyak yang cengeng, ungkapannya kebanyakan klise belaka dan sarat dengan pengaduan masalah yang tak terselesaikan.

Yang barangkali perlu dipahami adalah justru arti penting dari banyaknya jumlah sajak berbentuk doa – sebuah kenyataan yang sekaligus memantulkan keadaan kita dewasa ini maupun potensi yang dimilikinya untuk menatap masa depan yang sehat dan baik.

Sajak doa dapat saja bewatak pelarian, terlalu mendambakan utopia. Dalam hai itu, ia akan berfingsi negatif bagi masa depan karena manusia kehilangan kemampuan melihat realitas kehidupa.

Hal seperti itu tidak tampak dalam kumpulan sajak anak-anak yang dikumpulkan majalah Zamanitu. Umpamanya sajak dapat dilihat dari kedewasaan dialog para penyair cilik itu dengan Tuhan mereka masing-masing. Tuhan menggumpal jadi sasaran kebutuhan duniawi Zul Irwan, yang masih belum yakin dengan kemampuannya mempersiapkan diri menghadapi tugas sekolah, dalam kata-katanya:

Tuhan...// berikan aku mimpi malam ini // tentang matematika // yang diujikan besok pagi

Sudah tentu ia sendiri paling sadar bahwa Tuhan tidak akan menuruti permintaan kocak tersebut.

Tuhan jugalah yang menjadi sasaran kebingungan Adi Utomo Hatmoko yang mengalami keterputusan komunikasi, ketika ia berdoa:

Doa sudah kuakhiri // sehingga engkau tidak bakal mengerti // Amin

Sebaliknya, Agatha Artistayudha menggugat suasana tidak peduli kepada Tuhan , dalam sajaknya ‘Kita Suci’:

Engkau di dalamnya,Tuhan // terpepet // dan // menjadi makanan rayap // ketika semua orang // tak menghiraukanmu lagi.

Bisa juga Tuhan menjadi objek kekenesan belaka, seperti diperbuat Sri Pinurih:

Tuhanku... // (aku tak sanggup meneruskan // karena tenggelam // dalam isak tangis // kedukaan)

Atau Tuhan menjadi objek sikap manja Rusbandi dalam sajak ‘Kepada Tuhan’:

Tuhan, bukan bintang yang ingin kuminta // bukan pula bulan // aku hanya minta sebuah kitab // yang berisikan puisi // untuk ayah dan bunda

Dalam sajak-sajak mereka, ada juga kesadaran yang dewasa tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti ‘Doa’ Avida Virya yang tadinya meminta baju baru dari Tuhan:

Aku mendengar // Tuhan berkata: // engkau tak perlu gelisah // mama-mu akan memberimu // bahkan lebih baik lagi

Dalam pola inilah para penyair cilik itu menuntut kejujuran dalam hubungan dengan Tuhan, seperti ungkapan Dewi Marhaini Nasution:

Tuhanku // kupandang mata ibuku dalam-dalam // agar dapat melihat // apakah ibuku jadi juga pergi ke masjid // Bersembahyang Isa

Di samping tuntutan tersebut, penyair cilik ini juga merasakan kehadiran Tuhan dalam bentuk yang sangat sublim:

Sungguh aku tak tahu // bahwa Tuhan itu // adalah Kau // Yang setiap saat kujampai // lewat permainan kami tadi

Mohammad Sofyan juga merasakan kehadiran Tuhan dalam kedekatan hubungan antara sesama manusia, walaupun dalam arti yang lain:

Bila Kau hendak memanggil // panggil aku sendiri // Bila Kau hendak memberi // jangan aku sendiri.

Betapa polosnya hubungan mereka dengan Tuhan. Inilah yang mungkin akan mengekalkan penghayatan keimanan bangsa ini, bukannya khotbah para agamawan ataupun diskusi pemikiran agama.

Seolah-olah para penyair cilik itu mengerti benar bahwa masalah dasar bangsi ini hanya teratasi, kalau warga bangsa memiliki wawasan transedental yang kaya, yang memungkinkan mereka menemukan harkat manusia.

Wawasan seperti itu hanya akan tercapai, kalau manusia mampu bedialog dan mereka dekat dengan Tuhannya. Keakraban manusia dalam keadaan begitu, akan diimbangi oleh keakraban Tuhan dengan dirinya, yang akan memberinya kekuatan menyelesaikan kemelut yang diciptakannyasendiri.

Dengan kemampuan para penyair cilik itu untuk merasa dekat dengan Tuhan, seperti digambarkan di atas, jadi nyata bagi kita bahwa Tuhan pun merasa akrab dengan mereka. Mampukah kita mencari keakraban seperti itu?

Kita dapat belajar dari Rudiawan Triwidodo dalam sajak ‘Doa di Bibir Sumur’, ketika ia mengharapkan ‘tetesan air mata Tuhan’:

Agar tersedu tangis kami dengan wajar // sebab hampir Terlupa bagaimana kami // harus menangis // dengan benar // Mensyukuri berkat dan rahmatMu // yang melimpah // di luar sadar kami // agar basah sumur-sumur kami // tersiram Air kasih yang memancar dari // sumber keMahaanMu / Amin



Tuhan Akrab dengan Mereka. Tempo. (8 Januari 1983)

Posting Komentar